Opor Pawon Mbah Cithet,
Dulu Dijual di Pasar Kini Habis di Dapur
Makan Dekat Tungku Kayu,
Menu Beralaskan Daun Jati
Ingin makan malam dengan sensasi
berbeda dari warung makan biasa?. Datang saja ke Dusun Saratan, Desa Sejati,
Kecamatan Giriwoyo, pada malam pasaran
Kliwon. Pada malam khusus itu, dapur sederhana di salah satu rumah di dusun tersebut
disulap menjadi warung makan. Bagaimana kisahnya?
Namanya aslinya Satiyem. Tapi, perempuan satu anak
berusia 70 an tahun itu sejak belasan tahun terakhir lebih dikenal dengan nama
Mbah Cithet. Entah siapa yang memberi nama panggilan yang mungkin dikaitkan
dengan kepiawaian perempuan asli Dusun Saratan itu dalam membungkus sego
golong, opor telur dan krengseng mlandhing dengan daun jati. Satiyem sendiri
mengaku tak mengetahui siapa yang kali pertama memberikan nama panggilan itu.
“Tapi, >wis ra popo<. Nama itu (Cithet,Red)
malah ngrejekeni. Saya mulai dipanggil Mbah Cithet sejak sekitar 13 tahun lalu.
Sejak mulai melayani orang makan dagangan saya di dapur ini. Sampai sekarang
malah terkenal dengan nama itu,” kata Mbah Cithet yang pada malam Kliwon
kemarin terbalut kaos sederhana warna ungu dan celana kain coklat itu di dapur
rumahnya.
Di kemudian bercerita, sego golong, opor telur
komplit dengan tahu dan tempe serta krengseng mlandhing bukan barang dagangan
yang baru ia jual akhir-akhir ini saja. Sampai kemarin, dia sudah menjual
makanan itu selama lebih dari 30 tahun. Bedanya, selama sekitar 13 tahun
terakhir, dia tak lagi ke Pasar Giriwoyo yang aktivitasnya jual belinya hanya
pada pasaran Kliwon. Perbedaan lainnya, dulu opornya ia masak di kuali tanah.
Tapi, karena kuali itu pecah dan tidak ada yang berjualan kuali tanah lagi, dia
kini akhirnya memasak dagangannya di panci alumunium.
“Mungkin sudah lebih dari 30 tahun saya jualan. Dulu
jualannya ke Pasar Giriwoyo setiap kliwon. Dari rumah ini dagangan dipikul ke
pasar oleh suami saya. Biasanya berangkat setelah shubuh. Tapi, sudah lebih
dari sepuluh tahun terakhir ini jarang ke pasar. Paling ke pasar Cuma ngantar
yang pesan saja. Selalu habis di dapur ini pada malam Kliwon,” kata perempuan
itu di rumahnya yang berjarak sekitar tiga kilometer di sebalah barat Pasar
Kecamatan Giriwoyo tersebut.
Perubahan pola berjualan itu menurut Mbah Cithet
terjadi tanpa rencana. Hal itu berkaitan dengan aktivitas perjudian yang dulu
marak di Giriwoyo dan sekitarnya. Kala itu, pada malam pasaran Kliwon, ada
sekelompok pejudi yang baru saja selesai bertaruh mengetuk rumahnya. Rombongan
pejudi yang kelaparan itu tahu bahwa di rumah Mbah Cithet ada makanan yang
hendak dijual ke Pasar Giriwoyo esok harinya.
Mbah Cithet pun kemudian melayani para penjudi kelaparan
itu. Di melayani pembeli malam pertamanya itu di dapur yang hanya ada tungku
kayu, salangan, dan satu seta bangku kayu tua nan sederhana. Bahkan, untuk air minumnya, kala itu Mbah
Cithet hanya punya sekendi air putih yang kemudian juga habis diminum para pejudi
tersebut.
“Sejak itu, setiap malam Kliwon pasti ada yang
>ndodok< pintu beli makanan. Keterusan sampai sekarang. Malah sekarang
selalu habis di dapur. Setiap malam Kliwon, rata-rata saya menghabiskan 11
kilogram telur. Nggak tahu jadi berapa porsi. Yang pasti untung. Dan tidak
perlu capek-capek ke pasar. Sekarang ini, yang datang ke sini orang dari berbagai
daerah. Tiap malam Kliwon ramai. Mungkin karena enak dan murah. Cuma Rp 6 ribu
seporsi. Dapat nasi empat golong, satu telur, satu tahu, satu tempe dan
krengseng mlandhing,” ujarnya.
Mbah Cithet menambahkan, meski ramai oleh pembeli, dia memilih untuk
konsisten dengan memasak antara 10 kilogram hingga 11 kilogram telur saja.
Jumlah itu baru akan ia tambah mana kala menerima pesanan khusus. Dia juga
memutuskan untuk tidak berjualan di malam lain selain malam Kliwon. Mbah Cithet
juga tidak akan mengubah caranya berjualan. Dia tetap akan berdagang di dapur
dengan keadaan yang apa adanya.
Keputusan Mbah Cithet itu didukung oleh para pelanggannya. Dukungan itu di antaranya datang dari sekelompok pemuda asal Baturetno yang malam itu ada di dapur Mbah Cithet. “Nanti kalau diubah malah hilang ciri khasnya. Malah berkurang sensasinya. Seperti ini saja malah menarik,” kata Dedi Al Jawi, salah satu dari sekelompok pemuda yang tengah menyantap seporsi opor yang dihidangkan di atas lembaran daun jati dan pisang itu.