Senin, 23 Januari 2017

Perjalanan ke Vietnam 2



Termahal Tanah Satu Meter Persegi Rp 750 juta, Termurah Rp 20 Juta.

tinggi ramping

Secara umum, usia kemerdekaan bangsa Vietnam tak jauh berbeda dengan Indonesia. Vietnam (saat itu Vietnam Utara dengan Ibu Kota Hanoi dan dipimpin Ho Chi Minh)  menyatakan kemerdekaannya dari jajahan Perancis selama 100 tahun pada tanggal 2 September 1945. Sedangkan Indonesia menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Bedanya, paham komunis yang dianut pemerintah Vietnam menjadikan negara yang juga pernah dijajah Tiongkok selama hampir 1.000 tahun itu sangat tertutup. 

Hal tersebut membuat Vietnam miskin dan terbelakang. Kondisi itu diperparah dengan perang saudara dengan Vietnam Selatan yang beribukota di Saigon. Vietnam Selatan merupakan wilayah otonomi yang dibekingi Amerika Serikat. Ho Chi Minh yang menginginkan adanya penyatuan Vietnam pun terus mengibarkan perang melawan Vietnam Selatan yang didukung Amerika Serikat. 

Bahkan, hingga Ho Chi Minh meninggal pada 2 September 1969, keinginannya untuk menyatukan Vietnam belum terwujud. Vietnam Utara dan Vietnam Selatan terus beradu  taktik di medan pertempuran. Kegigihan pasukan Vietnam Utara untuk memperjuangkan keinginan Ho Chi Minh itu akhirnya berbuah hasil pada 1975. Tanggal 30 April 1975, Amerika Serikat dipaksa mengakui keunggulan Vietnam Utara. Mereka dipaksa angkat kaki dari Vietnam dan dipaksa penyatuan Vietnam Utara dan Selatan. 

 
nemu anak

Nah, perang selama 20 tahun yang berakhir tahun 1975 itu membuat Vietnam benar-benar hancur. Meski demikian, Vietnam tetap tak mau membuka diri. Terutama pada negara-negara maju yang merupakan sekutu Perancis dan Amerika Serikat. Saat itu, Vietnam hanya mau dekat dengan sesama negara komunis. Terutama Uni Soviet. Uluran tangan Soviet itu membuat Vietnam bertahan.

Sejak perang berakhir itu, negara mengambil alih semua kebijakan. Bahkan, sampai ke urusan perut warga. Paham utama sosialisme yakni sama rata sama rasa begitu ketat diberlakukan. Warga yang bekerja dan tidak bekerja saat itu mendapat perlakuan sama.

 “Setiap bulan warga mendapat kupon untuk mengambil jatah makanan. Jatah makan itu begitu minim hingga nyaris tak cukup. Bisa dibayangkan, sebulan hanya dapat beberapa kilogram beras, sedikit minyak goreng, sekaleng susu dan setengah kilogram daging. Tapi, warga mau tak mau harus menerima itu karena itu merupakan kebijakan pemerintah,” ujar Le Trung melanjutkan ceritanya.

halong bay


Kebijakan tersebut berlangsung selama 11 tahun. Kebijakan itu berakhir ketika Kongres Nasional Partai Komunis Vietnam ke 6 tahun 1986 memutuskan kebijakan negara yang baru. Kebijakan itu adalah pembaharuan cara kerja nasional. Point terpenting dari pembaruan itu adalah politik membuka diri pada negara-negara maju untuk berinvestasi di Vietnam. Termasuk pada negara yang pernah menjajah Vietnam seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Jepang dan Belanda.

Salah satu investor yang masuk di awal kebijakan itu adalah dari seorang pengusaha Indonesia yang menanamkan modalnya di sektor tambang batu bara. Bersamaan dengan itu, investor dari berbagai negara mulai masuk. Dan Vietnam pun benar-benar mulai membangun daerahnya. Bahkan, hingga saat ini, Vietnam masih giat membangun. Di mana-mana terlihat pembangunan pabrik, gedung-gedung, jembatan dan infrastruktur lainnya.

james bond island

Masuknya investor itu perlahan membuat Vietnam berkembang. Tapi, pembangunan dan perkembangan tersebut membawa dampak besar pada harga jual tanah. Pada periode awal masa “membuka diri”, kenaikan harga tanah itu tak begitu kentara. Bahkan, hingga beberapa tahun berikutnya, hal tersebut juga tak terlalu dirasakan.
Tapi itu hanya sementara saja. Sejak sekitar tahun 2005, terjadi lonjakan harga tanah yang luar biasa. Menurut penuturan Le Trung Cuong, rekor harga tertinggi untuk satu meter persegi tanah saat ini adalah 1 Miliar Vietnam Dong atau setara dengan Rp 750 juta. Tanah dengan harga fantastis itu ada di jantung Kota Hanoi. Tepatnya di distrik Trang Tien.
“Rekornya masih dipegang itu. 1 Miliar Vietnam Dong per meter persegi. Semakin ke pinggir kota, harganya semakin murah. Tapi ya tetap mahal bagi kelas pekerja seperti kami. Misalnya, di pinggir kota, asal berada di tepi jalan, harga semeter persegi tanah 60 juta hingga 80 juta Vietnam Dong. Kalau di luar kota, kalau di pinggir jalan ya paling murah antara 25 juta hingga 30 juta Vietnam Dong,” imbuh Le.
Ada yang unik terkait fenomena harga tanah tersebut. Menurut Le, yang dihargai sangat mahal tersebut hanya tanah yang menjadi muka/tampak depan saja. Sedangkan tanah di bagian belakang harganya semakin murah. Itu pula yang menurut Le membuat bangunan-bangunan di Vietnam rata-rata hanya memiliki lebar 3 meter hingga 5 meter saja. Tapi memanjang ke belakang hingga puluhan meter. Lalu dibangun bertingkat tinggi.
Selain itu, ada satu lagi hal yang membuat harga tanah yang merupakan aset pribadi di Vietnam harganya begitu tinggi. Sama seperti kebanyakan negara sosialis di berbagai belahan dunia, Vietnam juga menarapkan aturan yang sangat kaku. Termasuk di bidang pertanahan. Ketatnya regulasi itu merupakan penyebab lain dari melonjaknya harga tanah di negara berpenduduk sekitar 80 juta jiwa tersebut. Salah satu aturan mengenai pertanahan yang begitu ketat adalah perihal peruntukan tanah.
                Le Trung Chuo, local guide saya menceritakan, ketatnya aturan mengenai pemanfaatan lahan itu tertuang dalam undang-undang dasar di negaranya. Dalam undang-undang itu disebutkan, tanah dan harta benda yang ada di seluruh wilayah Vietnam adalah milik rakyat. Negara atau pemerintah hanya membantu mengatur pengelolaannya.
                Dia kemudian menceritakan, puluhan tahun lalu atau pasca kemerdekaan Vietnam, tanah yang merupakan milik bersama sangatlah luas. Hanya sebagian kecil saja yang yang merupakan milik perorangan. Tanah milik bersama itu keberadaanya dilindungi pemerintah. Rakyat tidak boleh menjadikan tanah itu sebagai milik pribadi.
                Meski demikian, ada aturan bahwa rakyat boleh memanfaatkan tanah-tanah tersebut. Caranya adalah dengan mengajukan permohonan ke pemerintah. Karena saat masih negara baru itu Vietnam masih kesulitan dalam hal penyediaan pangan, maka saat itu permohonan yang diajukan rakyat adalah pengelolaan tanah untuk pertanian.
                Syaratnya tak sulit. Yakni, rakyat hanya membayar secara simbolik. “Misalnya, ada yang mau memanfaatkan sebidang tanah. Luasnya terserah rakyat saat itu mau kuat mengelola berapa puluh hektar. Rakyat tinggal mengajukan permohonan dan membayar sewa secara simbolik. Misalnya membayar 100.000 Vietnam Dong untuk pengelolaan tanah sebagai lahan pertanian selama 50 tahun atau 100 tahun. Udah itu saja,” terang Le.
                  Setelah dikabulkan, rakyat memiliki kewajiban yang sangat mengikat. Yakni tidak boleh menggunakan lahan itu untuk kegiatan lain. Jika dalam permohonan itu akan digunakan untuk pertanian selama 100 tahun, maka selama 100 tahun itu pula tanah tersebut hanya boleh dimanfaatkan sebagai tanah pertanian. Pemerintah akan menindak dengan sanksi tegas bila tanah tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan selain pertanian.
                Pengalihan manfaat tanah yang dimohon rakyat tersebut hanya bisa dilakukan pemerintah. Misalnya untuk membangun jalan dan gedung pemerintahan. Pembangunan industri di tanah pertanian adalah sebuah hal yang sangat haram di negara tersebut. Regulasi tersebut terbukti ampuh untuk menjaga kelestarian sawah hingga predikat Vietnam sebagai negara pengekspor hasil pertanian, terutama beras, tetap terjaga.
                Sedangkan untuk pembangunan industri hanya boleh dilakukan di tanah-tanah yang merupakan aset pribadi atau tanah tanah yang bukan merupakan tanah produktif. Karena jumlahnya terbatas, harga tanah yang merupakan aset pribadi itu saat ini begitu mahal. Hingga menyentuh harga yang fantastis dengan rekor tertinggi Rp 750 juta per meter persegi.
                Meski memiliki kuasa untuk mengubah pemanfaatan tanah pertanian yang dikelola rakyat, pemerintah Vietnam juga tak semena-semena. Pemerintah juga tetap memiliki semangat untuk menjaga kesinambungan produksi pertanian sebagai mata pencaharian pokok sekaligus komoditas ekspor utama. Kalaupun ada tanah pertanian yang kemudian diubah pemanfaatnya menjadi lokasi pembangunan, pemerintah pasti sudah melakukan hal yang tidak menganggu jumlah produksi pertanian di wilayah tersebut.
“Misalnya, sebelum memutuskan mengubah sebagian tanah pertanian menjadi lokasi pembangunan, pemerintah sudah menurunkan tim ahli untuk melakukan penelitian. Mislanya, meneliti apakah produktivitas tanah pertanian di sekitarnya masih bisa ditingkatkan dengan teknologi. Intinya, pemerintah tidak ingin jumlah panen menurun meski luasan lahan berkurang,” tambah Le.
Sementara itu, selain pertanian dan pembangunan beragam industri, Vietnam saat ini juga tengah melakukan upaya lain untuk mendongkrak pendapatan negara. Misalnya adalah pembangunan sektor wisata untuk menyedot kedatangan wisatawan. Salah satu destinasi wisata yang saat ini sedang dibangun dengan skala besar adalah teluk Halong Bay.

Perjalanan Ke Vietnam 1




Vietnam  1 : 

di makam Ho Chi Minh

Disambut Kepatuhan Sopir Pada Regulasi dan Semrawutnya Kabel Listrik

Hari sudah beranjak petang ketika pesawat Vietnam Airlanes yang kami
tumpangi mendarat di Bandar Udara Internasional  Tan Son Nhat di Kota
Ho Chi Minh (Saigon), Vietnam. Kami tak lama berada di bandar udara
yang berada di kota terbesar di Vietnam tersebut. Selanjutnya, dengan
menggunakan maskapai yang sama, kami terbang dari bandar udara yang
pernah menjadi markas militer Amerika Serikat pada Perang itu ke Kota
Hanoi, Ibu Kota Negara  Vietnam.

                Malam sudah sangat larut ketika kami meninggalkan di
Bandara Noi Bai menuju ke hotel di tengah pusat kota Hanoi. Saat itu,
jalanan mulus di kota tersebut sudah sepi. Tapi, sang sopir tetap
menjalankan busnya dengan santai. Saya sempat berpikir sikap sopir
yang memilih tak ugal-ugalan di jalan sepi itu karena hanya ingin
memberikan kenyamanan pada penumpangnya.
markas besar partai komunis vietnam

                Tapi, ternyata ada alasan lain. Le Trung Cuong, 35,
local guide kami mengatakan sopir itu melaju tak kencang karena patuh
pada batas kecepatan maksimal yang diijinkan. Menurut dia, tak sopir
bus saja yang memilih patuh pada regulasi tersebut. Semua pengemudi
kendaraan di jalan raya akan melakukan hal sama. Sebab, melanggar
batas kecepatan maksimal yang diijinkan di jalan utama merupakan
pelanggaran berat di Hanoi. Bahkan di keseluruhan Vietnam.

Sanksinya adalah denda yang sangat besar. Bahkan, bisa mengakhiri
karier mengemudi sang sopir. Ketatnya peraturan serta tegasnya sanksi
yang dijatuhkan menurut Le Trung membuat tingkat kecelakaan di Vietnam
terus menurun dari tahun ke tahun meski jalanan sangat ramai oleh
kendaraan. Terutama oleh kendaraan roda dua.

“Sanksi melanggar batas kecepatan di sini sangat besar. Bisa setara
gaji sopir sebulan. Karena itu, sopir lebih memilih mematuhi batas
kecepatan yang diizinkan. Oh iya, jangan dibandingkan dengan
Indonesia. Jalanan di sini yang lebar hanya di tengah kota. Nanti agak
masuk jalanan sudah sempit,” kata Le Trung yang fasih berbahasa
Indonesia itu.

Le Trung Cuong juga sempat menyinggung bagaimana dia bisa berbahasa
Indonesia dengan sangat baik. Menurut dia, keahliannya berbahas
Indonesia itu didapat karena dia memang sempat tinggal cukup lama di
Indonesia. Yakni sejak tahun 2000 hingga tahun 2005. Dia tinggal di
Indonesia karena mengikuti orang tuanya yang merupakan diplomat yang
ditugaskan di Indonesia. Selama di Indonesia pula, Le sempat
merampungkan kuliah di sebuah universitas di Bogor.

Meski sudah nyaris mendekati tengah malam, terlihat jelas bahwa denyut
kehidupan masih ada di tepian jalan. Banyak aktivitas warga yang
dilakukan di bawah temaram lampu-lampu penerangan jalan. Sama seperti
di Indonesia, banyak pedagang kaki lima yang membuka lapak di trotoar
jalanan kota.
istana negara

Cahaya lampu jalanan yang cukup terang itu juga memperlihatkan dengan
jelas betapa semrawutnya penataan kabel listrik di kota tersebut.
Jumlah kabel antara tiang itu sangat banyak dan tak tertata.
Kondisinya jauh lebih parah dari Jakarta. Selain kabel, di setiap
tiang juga terdapat kotak-kotak besar yang saya tak tahu fungsinya
untuk apa. Pemandangan itu ada disepanjang jalan hingga bus yang
membawa kami sampai ke hotel tempat kami menginap.

Saat turun dari bus, saya sempat sedikit takjub dengan hotel tersebut.
Bukan takjub karena mewah. Tapi, takjub karena ternyata hotel bintang
tiga itu hanya berukuran lebar sekitar lima meter saja. Tapi memanjang
ke belakang hingga puluhan meter jauhnya. Sementara, tingginya sekitar
sepuluh lantai. Hal itu membuat hotel tersebut terlihat ramping.

Hal yang sama juga terlihat pada gedung-gedung di sekitarnya. Semua
terlihat tinggi dan ramping serta saling berimpitan. Model setiap
gedung yang berbeda dan berada saling menempel dengan tampak depan
yang nyaris sama yakni dengan lebar antara tiga meter hingga lima
meter membuat kesan bahwa tak ada pengaturan yang rapi di kota itu.

Keesokan harinya, usai dijamu sarapan dengan menu utama >broken rice
fries< (nasi goreng kuning tak pedas dari beras hancur/menir), pho
(semacam kwe tiau) serta beberapa jenis makanan lainnya, kami
meninggalkan hotel untuk berpesiar. Saat itu, semakin tampak pula
bahwa gedung tinggi, ramping dengan tampak depan hanya antara tiga
meter hingga lima meter merupakan hal yang lazim di Hanoi. Sangat
jarang ada bangunan yang lebarnya lebih dari lima meter.

Saya kemudian menanyakan kepada Le Trung mengapa sebagian besar
bangunan di tepi jalan di Hanoi tersebut memiliki karakter sama yakni
tinggi, ramping dengan tampak depan yang sempit. Pria berperawakan
kurus itu kemudian menjelaskan bahwa kondisi tersebut merupakan imbas
dari pembangunan yang sejak sekitar 15 tahun terakhir digenjot
pemerintah serta ketatnya regulasi pertanahan di Vietnam.  Bagaimana
kisah di balik gedung-gedung ramping itu?.. ikuti kisah selanjutnya.
(bersambung).