Senin, 23 Januari 2017

Perjalanan Ke Vietnam 1




Vietnam  1 : 

di makam Ho Chi Minh

Disambut Kepatuhan Sopir Pada Regulasi dan Semrawutnya Kabel Listrik

Hari sudah beranjak petang ketika pesawat Vietnam Airlanes yang kami
tumpangi mendarat di Bandar Udara Internasional  Tan Son Nhat di Kota
Ho Chi Minh (Saigon), Vietnam. Kami tak lama berada di bandar udara
yang berada di kota terbesar di Vietnam tersebut. Selanjutnya, dengan
menggunakan maskapai yang sama, kami terbang dari bandar udara yang
pernah menjadi markas militer Amerika Serikat pada Perang itu ke Kota
Hanoi, Ibu Kota Negara  Vietnam.

                Malam sudah sangat larut ketika kami meninggalkan di
Bandara Noi Bai menuju ke hotel di tengah pusat kota Hanoi. Saat itu,
jalanan mulus di kota tersebut sudah sepi. Tapi, sang sopir tetap
menjalankan busnya dengan santai. Saya sempat berpikir sikap sopir
yang memilih tak ugal-ugalan di jalan sepi itu karena hanya ingin
memberikan kenyamanan pada penumpangnya.
markas besar partai komunis vietnam

                Tapi, ternyata ada alasan lain. Le Trung Cuong, 35,
local guide kami mengatakan sopir itu melaju tak kencang karena patuh
pada batas kecepatan maksimal yang diijinkan. Menurut dia, tak sopir
bus saja yang memilih patuh pada regulasi tersebut. Semua pengemudi
kendaraan di jalan raya akan melakukan hal sama. Sebab, melanggar
batas kecepatan maksimal yang diijinkan di jalan utama merupakan
pelanggaran berat di Hanoi. Bahkan di keseluruhan Vietnam.

Sanksinya adalah denda yang sangat besar. Bahkan, bisa mengakhiri
karier mengemudi sang sopir. Ketatnya peraturan serta tegasnya sanksi
yang dijatuhkan menurut Le Trung membuat tingkat kecelakaan di Vietnam
terus menurun dari tahun ke tahun meski jalanan sangat ramai oleh
kendaraan. Terutama oleh kendaraan roda dua.

“Sanksi melanggar batas kecepatan di sini sangat besar. Bisa setara
gaji sopir sebulan. Karena itu, sopir lebih memilih mematuhi batas
kecepatan yang diizinkan. Oh iya, jangan dibandingkan dengan
Indonesia. Jalanan di sini yang lebar hanya di tengah kota. Nanti agak
masuk jalanan sudah sempit,” kata Le Trung yang fasih berbahasa
Indonesia itu.

Le Trung Cuong juga sempat menyinggung bagaimana dia bisa berbahasa
Indonesia dengan sangat baik. Menurut dia, keahliannya berbahas
Indonesia itu didapat karena dia memang sempat tinggal cukup lama di
Indonesia. Yakni sejak tahun 2000 hingga tahun 2005. Dia tinggal di
Indonesia karena mengikuti orang tuanya yang merupakan diplomat yang
ditugaskan di Indonesia. Selama di Indonesia pula, Le sempat
merampungkan kuliah di sebuah universitas di Bogor.

Meski sudah nyaris mendekati tengah malam, terlihat jelas bahwa denyut
kehidupan masih ada di tepian jalan. Banyak aktivitas warga yang
dilakukan di bawah temaram lampu-lampu penerangan jalan. Sama seperti
di Indonesia, banyak pedagang kaki lima yang membuka lapak di trotoar
jalanan kota.
istana negara

Cahaya lampu jalanan yang cukup terang itu juga memperlihatkan dengan
jelas betapa semrawutnya penataan kabel listrik di kota tersebut.
Jumlah kabel antara tiang itu sangat banyak dan tak tertata.
Kondisinya jauh lebih parah dari Jakarta. Selain kabel, di setiap
tiang juga terdapat kotak-kotak besar yang saya tak tahu fungsinya
untuk apa. Pemandangan itu ada disepanjang jalan hingga bus yang
membawa kami sampai ke hotel tempat kami menginap.

Saat turun dari bus, saya sempat sedikit takjub dengan hotel tersebut.
Bukan takjub karena mewah. Tapi, takjub karena ternyata hotel bintang
tiga itu hanya berukuran lebar sekitar lima meter saja. Tapi memanjang
ke belakang hingga puluhan meter jauhnya. Sementara, tingginya sekitar
sepuluh lantai. Hal itu membuat hotel tersebut terlihat ramping.

Hal yang sama juga terlihat pada gedung-gedung di sekitarnya. Semua
terlihat tinggi dan ramping serta saling berimpitan. Model setiap
gedung yang berbeda dan berada saling menempel dengan tampak depan
yang nyaris sama yakni dengan lebar antara tiga meter hingga lima
meter membuat kesan bahwa tak ada pengaturan yang rapi di kota itu.

Keesokan harinya, usai dijamu sarapan dengan menu utama >broken rice
fries< (nasi goreng kuning tak pedas dari beras hancur/menir), pho
(semacam kwe tiau) serta beberapa jenis makanan lainnya, kami
meninggalkan hotel untuk berpesiar. Saat itu, semakin tampak pula
bahwa gedung tinggi, ramping dengan tampak depan hanya antara tiga
meter hingga lima meter merupakan hal yang lazim di Hanoi. Sangat
jarang ada bangunan yang lebarnya lebih dari lima meter.

Saya kemudian menanyakan kepada Le Trung mengapa sebagian besar
bangunan di tepi jalan di Hanoi tersebut memiliki karakter sama yakni
tinggi, ramping dengan tampak depan yang sempit. Pria berperawakan
kurus itu kemudian menjelaskan bahwa kondisi tersebut merupakan imbas
dari pembangunan yang sejak sekitar 15 tahun terakhir digenjot
pemerintah serta ketatnya regulasi pertanahan di Vietnam.  Bagaimana
kisah di balik gedung-gedung ramping itu?.. ikuti kisah selanjutnya.
(bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar