Senin, 23 Januari 2017

Perjalanan ke Vietnam 2



Termahal Tanah Satu Meter Persegi Rp 750 juta, Termurah Rp 20 Juta.

tinggi ramping

Secara umum, usia kemerdekaan bangsa Vietnam tak jauh berbeda dengan Indonesia. Vietnam (saat itu Vietnam Utara dengan Ibu Kota Hanoi dan dipimpin Ho Chi Minh)  menyatakan kemerdekaannya dari jajahan Perancis selama 100 tahun pada tanggal 2 September 1945. Sedangkan Indonesia menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Bedanya, paham komunis yang dianut pemerintah Vietnam menjadikan negara yang juga pernah dijajah Tiongkok selama hampir 1.000 tahun itu sangat tertutup. 

Hal tersebut membuat Vietnam miskin dan terbelakang. Kondisi itu diperparah dengan perang saudara dengan Vietnam Selatan yang beribukota di Saigon. Vietnam Selatan merupakan wilayah otonomi yang dibekingi Amerika Serikat. Ho Chi Minh yang menginginkan adanya penyatuan Vietnam pun terus mengibarkan perang melawan Vietnam Selatan yang didukung Amerika Serikat. 

Bahkan, hingga Ho Chi Minh meninggal pada 2 September 1969, keinginannya untuk menyatukan Vietnam belum terwujud. Vietnam Utara dan Vietnam Selatan terus beradu  taktik di medan pertempuran. Kegigihan pasukan Vietnam Utara untuk memperjuangkan keinginan Ho Chi Minh itu akhirnya berbuah hasil pada 1975. Tanggal 30 April 1975, Amerika Serikat dipaksa mengakui keunggulan Vietnam Utara. Mereka dipaksa angkat kaki dari Vietnam dan dipaksa penyatuan Vietnam Utara dan Selatan. 

 
nemu anak

Nah, perang selama 20 tahun yang berakhir tahun 1975 itu membuat Vietnam benar-benar hancur. Meski demikian, Vietnam tetap tak mau membuka diri. Terutama pada negara-negara maju yang merupakan sekutu Perancis dan Amerika Serikat. Saat itu, Vietnam hanya mau dekat dengan sesama negara komunis. Terutama Uni Soviet. Uluran tangan Soviet itu membuat Vietnam bertahan.

Sejak perang berakhir itu, negara mengambil alih semua kebijakan. Bahkan, sampai ke urusan perut warga. Paham utama sosialisme yakni sama rata sama rasa begitu ketat diberlakukan. Warga yang bekerja dan tidak bekerja saat itu mendapat perlakuan sama.

 “Setiap bulan warga mendapat kupon untuk mengambil jatah makanan. Jatah makan itu begitu minim hingga nyaris tak cukup. Bisa dibayangkan, sebulan hanya dapat beberapa kilogram beras, sedikit minyak goreng, sekaleng susu dan setengah kilogram daging. Tapi, warga mau tak mau harus menerima itu karena itu merupakan kebijakan pemerintah,” ujar Le Trung melanjutkan ceritanya.

halong bay


Kebijakan tersebut berlangsung selama 11 tahun. Kebijakan itu berakhir ketika Kongres Nasional Partai Komunis Vietnam ke 6 tahun 1986 memutuskan kebijakan negara yang baru. Kebijakan itu adalah pembaharuan cara kerja nasional. Point terpenting dari pembaruan itu adalah politik membuka diri pada negara-negara maju untuk berinvestasi di Vietnam. Termasuk pada negara yang pernah menjajah Vietnam seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Jepang dan Belanda.

Salah satu investor yang masuk di awal kebijakan itu adalah dari seorang pengusaha Indonesia yang menanamkan modalnya di sektor tambang batu bara. Bersamaan dengan itu, investor dari berbagai negara mulai masuk. Dan Vietnam pun benar-benar mulai membangun daerahnya. Bahkan, hingga saat ini, Vietnam masih giat membangun. Di mana-mana terlihat pembangunan pabrik, gedung-gedung, jembatan dan infrastruktur lainnya.

james bond island

Masuknya investor itu perlahan membuat Vietnam berkembang. Tapi, pembangunan dan perkembangan tersebut membawa dampak besar pada harga jual tanah. Pada periode awal masa “membuka diri”, kenaikan harga tanah itu tak begitu kentara. Bahkan, hingga beberapa tahun berikutnya, hal tersebut juga tak terlalu dirasakan.
Tapi itu hanya sementara saja. Sejak sekitar tahun 2005, terjadi lonjakan harga tanah yang luar biasa. Menurut penuturan Le Trung Cuong, rekor harga tertinggi untuk satu meter persegi tanah saat ini adalah 1 Miliar Vietnam Dong atau setara dengan Rp 750 juta. Tanah dengan harga fantastis itu ada di jantung Kota Hanoi. Tepatnya di distrik Trang Tien.
“Rekornya masih dipegang itu. 1 Miliar Vietnam Dong per meter persegi. Semakin ke pinggir kota, harganya semakin murah. Tapi ya tetap mahal bagi kelas pekerja seperti kami. Misalnya, di pinggir kota, asal berada di tepi jalan, harga semeter persegi tanah 60 juta hingga 80 juta Vietnam Dong. Kalau di luar kota, kalau di pinggir jalan ya paling murah antara 25 juta hingga 30 juta Vietnam Dong,” imbuh Le.
Ada yang unik terkait fenomena harga tanah tersebut. Menurut Le, yang dihargai sangat mahal tersebut hanya tanah yang menjadi muka/tampak depan saja. Sedangkan tanah di bagian belakang harganya semakin murah. Itu pula yang menurut Le membuat bangunan-bangunan di Vietnam rata-rata hanya memiliki lebar 3 meter hingga 5 meter saja. Tapi memanjang ke belakang hingga puluhan meter. Lalu dibangun bertingkat tinggi.
Selain itu, ada satu lagi hal yang membuat harga tanah yang merupakan aset pribadi di Vietnam harganya begitu tinggi. Sama seperti kebanyakan negara sosialis di berbagai belahan dunia, Vietnam juga menarapkan aturan yang sangat kaku. Termasuk di bidang pertanahan. Ketatnya regulasi itu merupakan penyebab lain dari melonjaknya harga tanah di negara berpenduduk sekitar 80 juta jiwa tersebut. Salah satu aturan mengenai pertanahan yang begitu ketat adalah perihal peruntukan tanah.
                Le Trung Chuo, local guide saya menceritakan, ketatnya aturan mengenai pemanfaatan lahan itu tertuang dalam undang-undang dasar di negaranya. Dalam undang-undang itu disebutkan, tanah dan harta benda yang ada di seluruh wilayah Vietnam adalah milik rakyat. Negara atau pemerintah hanya membantu mengatur pengelolaannya.
                Dia kemudian menceritakan, puluhan tahun lalu atau pasca kemerdekaan Vietnam, tanah yang merupakan milik bersama sangatlah luas. Hanya sebagian kecil saja yang yang merupakan milik perorangan. Tanah milik bersama itu keberadaanya dilindungi pemerintah. Rakyat tidak boleh menjadikan tanah itu sebagai milik pribadi.
                Meski demikian, ada aturan bahwa rakyat boleh memanfaatkan tanah-tanah tersebut. Caranya adalah dengan mengajukan permohonan ke pemerintah. Karena saat masih negara baru itu Vietnam masih kesulitan dalam hal penyediaan pangan, maka saat itu permohonan yang diajukan rakyat adalah pengelolaan tanah untuk pertanian.
                Syaratnya tak sulit. Yakni, rakyat hanya membayar secara simbolik. “Misalnya, ada yang mau memanfaatkan sebidang tanah. Luasnya terserah rakyat saat itu mau kuat mengelola berapa puluh hektar. Rakyat tinggal mengajukan permohonan dan membayar sewa secara simbolik. Misalnya membayar 100.000 Vietnam Dong untuk pengelolaan tanah sebagai lahan pertanian selama 50 tahun atau 100 tahun. Udah itu saja,” terang Le.
                  Setelah dikabulkan, rakyat memiliki kewajiban yang sangat mengikat. Yakni tidak boleh menggunakan lahan itu untuk kegiatan lain. Jika dalam permohonan itu akan digunakan untuk pertanian selama 100 tahun, maka selama 100 tahun itu pula tanah tersebut hanya boleh dimanfaatkan sebagai tanah pertanian. Pemerintah akan menindak dengan sanksi tegas bila tanah tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan selain pertanian.
                Pengalihan manfaat tanah yang dimohon rakyat tersebut hanya bisa dilakukan pemerintah. Misalnya untuk membangun jalan dan gedung pemerintahan. Pembangunan industri di tanah pertanian adalah sebuah hal yang sangat haram di negara tersebut. Regulasi tersebut terbukti ampuh untuk menjaga kelestarian sawah hingga predikat Vietnam sebagai negara pengekspor hasil pertanian, terutama beras, tetap terjaga.
                Sedangkan untuk pembangunan industri hanya boleh dilakukan di tanah-tanah yang merupakan aset pribadi atau tanah tanah yang bukan merupakan tanah produktif. Karena jumlahnya terbatas, harga tanah yang merupakan aset pribadi itu saat ini begitu mahal. Hingga menyentuh harga yang fantastis dengan rekor tertinggi Rp 750 juta per meter persegi.
                Meski memiliki kuasa untuk mengubah pemanfaatan tanah pertanian yang dikelola rakyat, pemerintah Vietnam juga tak semena-semena. Pemerintah juga tetap memiliki semangat untuk menjaga kesinambungan produksi pertanian sebagai mata pencaharian pokok sekaligus komoditas ekspor utama. Kalaupun ada tanah pertanian yang kemudian diubah pemanfaatnya menjadi lokasi pembangunan, pemerintah pasti sudah melakukan hal yang tidak menganggu jumlah produksi pertanian di wilayah tersebut.
“Misalnya, sebelum memutuskan mengubah sebagian tanah pertanian menjadi lokasi pembangunan, pemerintah sudah menurunkan tim ahli untuk melakukan penelitian. Mislanya, meneliti apakah produktivitas tanah pertanian di sekitarnya masih bisa ditingkatkan dengan teknologi. Intinya, pemerintah tidak ingin jumlah panen menurun meski luasan lahan berkurang,” tambah Le.
Sementara itu, selain pertanian dan pembangunan beragam industri, Vietnam saat ini juga tengah melakukan upaya lain untuk mendongkrak pendapatan negara. Misalnya adalah pembangunan sektor wisata untuk menyedot kedatangan wisatawan. Salah satu destinasi wisata yang saat ini sedang dibangun dengan skala besar adalah teluk Halong Bay.

Perjalanan Ke Vietnam 1




Vietnam  1 : 

di makam Ho Chi Minh

Disambut Kepatuhan Sopir Pada Regulasi dan Semrawutnya Kabel Listrik

Hari sudah beranjak petang ketika pesawat Vietnam Airlanes yang kami
tumpangi mendarat di Bandar Udara Internasional  Tan Son Nhat di Kota
Ho Chi Minh (Saigon), Vietnam. Kami tak lama berada di bandar udara
yang berada di kota terbesar di Vietnam tersebut. Selanjutnya, dengan
menggunakan maskapai yang sama, kami terbang dari bandar udara yang
pernah menjadi markas militer Amerika Serikat pada Perang itu ke Kota
Hanoi, Ibu Kota Negara  Vietnam.

                Malam sudah sangat larut ketika kami meninggalkan di
Bandara Noi Bai menuju ke hotel di tengah pusat kota Hanoi. Saat itu,
jalanan mulus di kota tersebut sudah sepi. Tapi, sang sopir tetap
menjalankan busnya dengan santai. Saya sempat berpikir sikap sopir
yang memilih tak ugal-ugalan di jalan sepi itu karena hanya ingin
memberikan kenyamanan pada penumpangnya.
markas besar partai komunis vietnam

                Tapi, ternyata ada alasan lain. Le Trung Cuong, 35,
local guide kami mengatakan sopir itu melaju tak kencang karena patuh
pada batas kecepatan maksimal yang diijinkan. Menurut dia, tak sopir
bus saja yang memilih patuh pada regulasi tersebut. Semua pengemudi
kendaraan di jalan raya akan melakukan hal sama. Sebab, melanggar
batas kecepatan maksimal yang diijinkan di jalan utama merupakan
pelanggaran berat di Hanoi. Bahkan di keseluruhan Vietnam.

Sanksinya adalah denda yang sangat besar. Bahkan, bisa mengakhiri
karier mengemudi sang sopir. Ketatnya peraturan serta tegasnya sanksi
yang dijatuhkan menurut Le Trung membuat tingkat kecelakaan di Vietnam
terus menurun dari tahun ke tahun meski jalanan sangat ramai oleh
kendaraan. Terutama oleh kendaraan roda dua.

“Sanksi melanggar batas kecepatan di sini sangat besar. Bisa setara
gaji sopir sebulan. Karena itu, sopir lebih memilih mematuhi batas
kecepatan yang diizinkan. Oh iya, jangan dibandingkan dengan
Indonesia. Jalanan di sini yang lebar hanya di tengah kota. Nanti agak
masuk jalanan sudah sempit,” kata Le Trung yang fasih berbahasa
Indonesia itu.

Le Trung Cuong juga sempat menyinggung bagaimana dia bisa berbahasa
Indonesia dengan sangat baik. Menurut dia, keahliannya berbahas
Indonesia itu didapat karena dia memang sempat tinggal cukup lama di
Indonesia. Yakni sejak tahun 2000 hingga tahun 2005. Dia tinggal di
Indonesia karena mengikuti orang tuanya yang merupakan diplomat yang
ditugaskan di Indonesia. Selama di Indonesia pula, Le sempat
merampungkan kuliah di sebuah universitas di Bogor.

Meski sudah nyaris mendekati tengah malam, terlihat jelas bahwa denyut
kehidupan masih ada di tepian jalan. Banyak aktivitas warga yang
dilakukan di bawah temaram lampu-lampu penerangan jalan. Sama seperti
di Indonesia, banyak pedagang kaki lima yang membuka lapak di trotoar
jalanan kota.
istana negara

Cahaya lampu jalanan yang cukup terang itu juga memperlihatkan dengan
jelas betapa semrawutnya penataan kabel listrik di kota tersebut.
Jumlah kabel antara tiang itu sangat banyak dan tak tertata.
Kondisinya jauh lebih parah dari Jakarta. Selain kabel, di setiap
tiang juga terdapat kotak-kotak besar yang saya tak tahu fungsinya
untuk apa. Pemandangan itu ada disepanjang jalan hingga bus yang
membawa kami sampai ke hotel tempat kami menginap.

Saat turun dari bus, saya sempat sedikit takjub dengan hotel tersebut.
Bukan takjub karena mewah. Tapi, takjub karena ternyata hotel bintang
tiga itu hanya berukuran lebar sekitar lima meter saja. Tapi memanjang
ke belakang hingga puluhan meter jauhnya. Sementara, tingginya sekitar
sepuluh lantai. Hal itu membuat hotel tersebut terlihat ramping.

Hal yang sama juga terlihat pada gedung-gedung di sekitarnya. Semua
terlihat tinggi dan ramping serta saling berimpitan. Model setiap
gedung yang berbeda dan berada saling menempel dengan tampak depan
yang nyaris sama yakni dengan lebar antara tiga meter hingga lima
meter membuat kesan bahwa tak ada pengaturan yang rapi di kota itu.

Keesokan harinya, usai dijamu sarapan dengan menu utama >broken rice
fries< (nasi goreng kuning tak pedas dari beras hancur/menir), pho
(semacam kwe tiau) serta beberapa jenis makanan lainnya, kami
meninggalkan hotel untuk berpesiar. Saat itu, semakin tampak pula
bahwa gedung tinggi, ramping dengan tampak depan hanya antara tiga
meter hingga lima meter merupakan hal yang lazim di Hanoi. Sangat
jarang ada bangunan yang lebarnya lebih dari lima meter.

Saya kemudian menanyakan kepada Le Trung mengapa sebagian besar
bangunan di tepi jalan di Hanoi tersebut memiliki karakter sama yakni
tinggi, ramping dengan tampak depan yang sempit. Pria berperawakan
kurus itu kemudian menjelaskan bahwa kondisi tersebut merupakan imbas
dari pembangunan yang sejak sekitar 15 tahun terakhir digenjot
pemerintah serta ketatnya regulasi pertanahan di Vietnam.  Bagaimana
kisah di balik gedung-gedung ramping itu?.. ikuti kisah selanjutnya.
(bersambung).

Jumat, 14 Oktober 2016

Opor Pawon Mbah Cithet, Dulu Dijual di Pasar Kini Habis di Dapur

Opor Pawon Mbah Cithet, Dulu Dijual di Pasar Kini Habis di Dapur

Makan Dekat Tungku Kayu, Menu Beralaskan Daun Jati






Ingin makan malam dengan sensasi berbeda dari warung makan biasa?. Datang saja ke Dusun Saratan, Desa Sejati, Kecamatan Giriwoyo,  pada malam pasaran Kliwon. Pada malam khusus itu, dapur sederhana di salah satu rumah di dusun tersebut disulap menjadi warung makan. Bagaimana kisahnya?

             Namanya aslinya Satiyem. Tapi, perempuan satu anak berusia 70 an tahun itu sejak belasan tahun terakhir lebih dikenal dengan nama Mbah Cithet. Entah siapa yang memberi nama panggilan yang mungkin dikaitkan dengan kepiawaian perempuan asli Dusun Saratan itu dalam membungkus sego golong, opor telur dan krengseng mlandhing dengan daun jati. Satiyem sendiri mengaku tak mengetahui siapa yang kali pertama memberikan nama panggilan itu.

                “Tapi, >wis ra popo<. Nama itu (Cithet,Red) malah ngrejekeni. Saya mulai dipanggil Mbah Cithet sejak sekitar 13 tahun lalu. Sejak mulai melayani orang makan dagangan saya di dapur ini. Sampai sekarang malah terkenal dengan nama itu,” kata Mbah Cithet yang pada malam Kliwon kemarin terbalut kaos sederhana warna ungu dan celana kain coklat itu di dapur rumahnya.



                Di kemudian bercerita, sego golong, opor telur komplit dengan tahu dan tempe serta krengseng mlandhing bukan barang dagangan yang baru ia jual akhir-akhir ini saja. Sampai kemarin, dia sudah menjual makanan itu selama lebih dari 30 tahun. Bedanya, selama sekitar 13 tahun terakhir, dia tak lagi ke Pasar Giriwoyo yang aktivitasnya jual belinya hanya pada pasaran Kliwon. Perbedaan lainnya, dulu opornya ia masak di kuali tanah. Tapi, karena kuali itu pecah dan tidak ada yang berjualan kuali tanah lagi, dia kini akhirnya memasak dagangannya di panci alumunium.

                “Mungkin sudah lebih dari 30 tahun saya jualan. Dulu jualannya ke Pasar Giriwoyo setiap kliwon. Dari rumah ini dagangan dipikul ke pasar oleh suami saya. Biasanya berangkat setelah shubuh. Tapi, sudah lebih dari sepuluh tahun terakhir ini jarang ke pasar. Paling ke pasar Cuma ngantar yang pesan saja. Selalu habis di dapur ini pada malam Kliwon,” kata perempuan itu di rumahnya yang berjarak sekitar tiga kilometer di sebalah barat Pasar Kecamatan Giriwoyo tersebut.


                Perubahan pola berjualan itu menurut Mbah Cithet terjadi tanpa rencana. Hal itu berkaitan dengan aktivitas perjudian yang dulu marak di Giriwoyo dan sekitarnya. Kala itu, pada malam pasaran Kliwon, ada sekelompok pejudi yang baru saja selesai bertaruh mengetuk rumahnya. Rombongan pejudi yang kelaparan itu tahu bahwa di rumah Mbah Cithet ada makanan yang hendak dijual ke Pasar Giriwoyo esok harinya.

                Mbah Cithet pun kemudian melayani para penjudi kelaparan itu. Di melayani pembeli malam pertamanya itu di dapur yang hanya ada tungku kayu, salangan, dan satu seta bangku kayu tua nan sederhana.  Bahkan, untuk air minumnya, kala itu Mbah Cithet hanya punya sekendi air putih yang kemudian juga habis diminum para pejudi tersebut.

                “Sejak itu, setiap malam Kliwon pasti ada yang >ndodok< pintu beli makanan. Keterusan sampai sekarang. Malah sekarang selalu habis di dapur. Setiap malam Kliwon, rata-rata saya menghabiskan 11 kilogram telur. Nggak tahu jadi berapa porsi. Yang pasti untung. Dan tidak perlu capek-capek ke pasar. Sekarang ini, yang datang ke sini orang dari berbagai daerah. Tiap malam Kliwon ramai. Mungkin karena enak dan murah. Cuma Rp 6 ribu seporsi. Dapat nasi empat golong, satu telur, satu tahu, satu tempe dan krengseng mlandhing,” ujarnya.

Mbah Cithet menambahkan, meski ramai oleh pembeli, dia memilih untuk konsisten dengan memasak antara 10 kilogram hingga 11 kilogram telur saja. Jumlah itu baru akan ia tambah mana kala menerima pesanan khusus. Dia juga memutuskan untuk tidak berjualan di malam lain selain malam Kliwon. Mbah Cithet juga tidak akan mengubah caranya berjualan. Dia tetap akan berdagang di dapur dengan keadaan yang apa adanya.
 



Keputusan Mbah Cithet itu didukung oleh para pelanggannya. Dukungan itu di antaranya datang dari sekelompok pemuda asal Baturetno yang malam itu ada di dapur Mbah Cithet. “Nanti kalau diubah malah hilang ciri khasnya. Malah berkurang sensasinya. Seperti ini saja malah menarik,” kata Dedi Al Jawi, salah satu dari sekelompok pemuda yang tengah menyantap seporsi opor yang dihidangkan di atas lembaran daun jati dan pisang itu.

Rabu, 28 September 2016

Di Balik Penyusunan Buku Foto Eksotika Tepi Benua (3/Terakhir)


Menyusuri Bengawan Solo Purba, Memburu Bintang di Pura Puncak Jagad


di gapura luar pura

Setelah beberapa hari beristirahat untuk mengembalikan stamina yang terkuras di pesisir selatan Paranggupito, kami kemudian memulai lagi penyelusuran potensi yang ada di Wonogiri selatan. Kali ini yang kami datangi adalah Kecamatan Pracimantoro. Kami ingin merekam keindahan yang merupakan bagian dari fenomena alam di kawasan pegunungan kapur (Karst) di wilayah tersebut. 

Keindahan kawasan karst Pracimantoro yang terdiri dari gua, gunung kapur, luweng, dan sungai bawah tanah termasuk jejak sungai Bengawan Solo Purba sudah pasti bukan keindahan yang ala kadarnya. Dunia sudah mengakui itu. Pengakuan pertama adalah pembangunan Museum Karst Dunia di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro.  Sedangkan pengakuan kedua adalah ditetapkannya Kawasan Karst Gunung Sewu (termasuk Pracimantoro dan sekitarnya) sebagai Globak  Geopark (Taman Geopark Dunia) oleh PBB.

Hari masih pagi ketika kami memasuki Kecamatan Pracimantoro. Gua Putri Kencana di Desa Wonodadi adalah keindahan pertama yang kami datangi di wilayah ini. Gua itu berada di bagian utara Kota Kecamatan Pracimantoro. Gua Putri Kencana yang panjang lorongnya sekitar 125 meter itu dihiasi ratusan bahkan ribuan stalagtit dan stalagmit berbagai ukuran. Semuanya masih hidup. Tandanya, di ujung-ujung stalagtit terdapat air yang menetes. 

Dulu, sebelum Gua Gong di Pacitan Jawa Timur ditemukan, Gua Putri Kencana merupakan gua favorit wisatawan. Tapi, setelah penemuan gua maha indah di Pacitan itu ditemukan dan dibuka untuk umum, pamor Gua Putri Kencana perlahan surut. Bahkan, kini mati suri. Hanya peziarah saja yang masih kerap datang ke gua yang diyakini pernah menjadi persianggahan Prabu Brawijaya V/Raja Majapahit terakhir itu.

Setelah mengambil gambar dan data mengenai Gua Putri Kencana, saya memutuskan untuk menyusuri situs Bengawan Solo Purba. Saya sengaja memulainya dari ujung selatan yakni dari wilayah Sadeng, Wonosari, Gunung Kidul, Jogjakarta. Saya pilih menggunakan mobil untuk menyelusuri bekas aliran sungai yang dulu bermuara di Pantai Selatan itu karena sebagian besar situsnya berada di tepi jalan raya.

Bekas aliran sungai itu panjangnya sekitar 12,5 kilometer. Membentang dari Giritontro, Pracimantoro hingga Sadeng, Gunungkidul, Jogjakarta. Saat ini, bekas aliran sungai itu telah berubah menjadi lahan pertanian. Aliran Bengawan Solo berubah ke utara karena proses pengangkatan lempeng benua Eurasia (Benua Asia-Eropa) karena desakan Lempeng Indo-Australia (Benua Australia). Peristiwa geologi itu terjadi jutaan tahun lalu.

Matahari sudah hampir bergulir ke sisi barat langit ketika perjalanan menyelusuri bekas aliran sungai purba itu berakhir. Tapi, perjalanan kami belum berhenti. Perjalanan kami lanjutkan ke Kawasan Museum Karst Dunia. Selain merekam bangunan museum yang futuristik tanpa meninggalkan kesan ke-Jawa-an, kami juga mengunjungi banyak gua yang tersebar di sekitar tempat tersebut.

Di antaranya adalah Gua Tembus, Gua Sodong, Gua Potro Bunder, dan Gua Gilap. Gua Sodong dan Gua Gilap adalah dua gua istimewa di Kawasan Museum Karst Dunia. Gos Sodong istimewa karena merupakan mulut sungai bawah tanah. Artinya, di sebelah barat bangunan MKD terdapat sungai terbuka yang kemudian masuk ke Gua Sodong. Konong, Gua Sodong yang kerap menjadi obyek penelitian itu panjangnya lebih dari 4,5 kilometer.

Sedangkan Gua Gilap istimewa karena diyakini para arkeolog sebagai bagian dari mata rantai pergerakan manusia purba dari wilayah timur ke bagian barat Pulau Jawa. Di dasar gua itu ditemukan artefak berupa peralatan purba serta sisa konsumsi manusia purba berupa tulang belulang  hewan yang saat tak ada lagi di tanah Jawa. Beberapa di antaranya merupakan hewan berukuran besar.

Temuan sisa konsumsi yang berada di lapisan-lapisan tanah di dasar gua juga membuat ahli yakin bahwa gua itu pernah menjadi tempat bermukimnya manusia purba selama ribuan tahun. Asumsi itu berpotensi membalik anggapan bahwa manusia purba tidak hanya singgah sementara di gua. Tapi, hidup menetap dalam jangka waktu lama.

Menjelang petang, kami akhirnya menyelesaikan pengambilan gambar dan data di semua gua dan luweng di sekitar Museum Karst Dunia. “Kita tunggu malam sekalian. Nyari foto langit penuh bintang. Ini langite bersih. Semoga bintange banyak,” kata Arif Budiman, juru foto utama di tim gabungan antara Humas Setda Wonogiri dan Jawa Pos Radar Solo. Saya, Bintoro dan Sutris pun sepakat. 

Akhirnya, kami memilih Pura Puncak Jagat yang berada di puncak bukit di atas Gua Sodong atau di sebalah barat Museum Karst Dunia sebagai spot berburu bintang. Sejak sebelum Maghrib kami sudah berada di tempat peribadatan umat hindu itu. Tapi, foto terbaik baru kami dapat sekitar pukul 21.00. Setelah itu, kami turun dan kembali ke rumah masing-masing. Pekerjaan berikutnya yang kami lakukan adalah menyusun foto dan data-data kami menjadis ebuah buku foto yang kami juduli “EKSOTIKA TEPI BENUA, Melihat Wonogiri Dari Sudut Pandang Yang Berbeda”. (habis)