Menyusuri Bengawan Solo Purba, Memburu Bintang di Pura
Puncak Jagad
di gapura luar pura |
Setelah beberapa hari
beristirahat untuk mengembalikan stamina yang terkuras di pesisir selatan
Paranggupito, kami kemudian memulai lagi penyelusuran potensi yang ada di
Wonogiri selatan. Kali ini yang kami datangi adalah Kecamatan Pracimantoro.
Kami ingin merekam keindahan yang merupakan bagian dari fenomena alam di kawasan
pegunungan kapur (Karst) di wilayah tersebut.
Keindahan kawasan karst Pracimantoro
yang terdiri dari gua, gunung kapur, luweng, dan sungai bawah tanah termasuk
jejak sungai Bengawan Solo Purba sudah pasti bukan keindahan yang ala kadarnya.
Dunia sudah mengakui itu. Pengakuan pertama adalah pembangunan Museum Karst
Dunia di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro. Sedangkan pengakuan kedua adalah ditetapkannya
Kawasan Karst Gunung Sewu (termasuk Pracimantoro dan sekitarnya) sebagai Globak
Geopark (Taman Geopark Dunia) oleh PBB.
Hari masih pagi ketika kami
memasuki Kecamatan Pracimantoro. Gua Putri Kencana di Desa Wonodadi adalah
keindahan pertama yang kami datangi di wilayah ini. Gua itu berada di bagian
utara Kota Kecamatan Pracimantoro. Gua Putri Kencana yang panjang lorongnya
sekitar 125 meter itu dihiasi ratusan bahkan ribuan stalagtit dan stalagmit
berbagai ukuran. Semuanya masih hidup. Tandanya, di ujung-ujung stalagtit
terdapat air yang menetes.
Dulu, sebelum Gua Gong di Pacitan
Jawa Timur ditemukan, Gua Putri Kencana merupakan gua favorit wisatawan. Tapi,
setelah penemuan gua maha indah di Pacitan itu ditemukan dan dibuka untuk umum,
pamor Gua Putri Kencana perlahan surut. Bahkan, kini mati suri. Hanya peziarah
saja yang masih kerap datang ke gua yang diyakini pernah menjadi persianggahan
Prabu Brawijaya V/Raja Majapahit terakhir itu.
Setelah mengambil gambar dan data
mengenai Gua Putri Kencana, saya memutuskan untuk menyusuri situs Bengawan Solo
Purba. Saya sengaja memulainya dari ujung selatan yakni dari wilayah Sadeng,
Wonosari, Gunung Kidul, Jogjakarta. Saya pilih menggunakan mobil untuk
menyelusuri bekas aliran sungai yang dulu bermuara di Pantai Selatan itu karena
sebagian besar situsnya berada di tepi jalan raya.
Bekas aliran sungai itu
panjangnya sekitar 12,5 kilometer. Membentang dari Giritontro, Pracimantoro
hingga Sadeng, Gunungkidul, Jogjakarta. Saat ini, bekas aliran sungai itu telah
berubah menjadi lahan pertanian. Aliran Bengawan Solo berubah ke utara karena
proses pengangkatan lempeng benua Eurasia (Benua Asia-Eropa) karena desakan
Lempeng Indo-Australia (Benua Australia). Peristiwa geologi itu terjadi jutaan
tahun lalu.
Matahari sudah hampir bergulir ke
sisi barat langit ketika perjalanan menyelusuri bekas aliran sungai purba itu
berakhir. Tapi, perjalanan kami belum berhenti. Perjalanan kami lanjutkan ke
Kawasan Museum Karst Dunia. Selain merekam bangunan museum yang futuristik
tanpa meninggalkan kesan ke-Jawa-an, kami juga mengunjungi banyak gua yang
tersebar di sekitar tempat tersebut.
Di antaranya adalah Gua Tembus,
Gua Sodong, Gua Potro Bunder, dan Gua Gilap. Gua Sodong dan Gua Gilap adalah
dua gua istimewa di Kawasan Museum Karst Dunia. Gos Sodong istimewa karena
merupakan mulut sungai bawah tanah. Artinya, di sebelah barat bangunan MKD
terdapat sungai terbuka yang kemudian masuk ke Gua Sodong. Konong, Gua Sodong
yang kerap menjadi obyek penelitian itu panjangnya lebih dari 4,5 kilometer.
Sedangkan Gua Gilap istimewa karena
diyakini para arkeolog sebagai bagian dari mata rantai pergerakan manusia purba
dari wilayah timur ke bagian barat Pulau Jawa. Di dasar gua itu ditemukan
artefak berupa peralatan purba serta sisa konsumsi manusia purba berupa tulang
belulang hewan yang saat tak ada lagi di
tanah Jawa. Beberapa di antaranya merupakan hewan berukuran besar.
Temuan sisa konsumsi yang berada
di lapisan-lapisan tanah di dasar gua juga membuat ahli yakin bahwa gua itu
pernah menjadi tempat bermukimnya manusia purba selama ribuan tahun. Asumsi itu
berpotensi membalik anggapan bahwa manusia purba tidak hanya singgah sementara
di gua. Tapi, hidup menetap dalam jangka waktu lama.
Menjelang petang, kami akhirnya
menyelesaikan pengambilan gambar dan data di semua gua dan luweng di sekitar Museum
Karst Dunia. “Kita tunggu malam sekalian. Nyari foto langit penuh bintang. Ini
langite bersih. Semoga bintange banyak,” kata Arif Budiman, juru foto utama di
tim gabungan antara Humas Setda Wonogiri dan Jawa Pos Radar Solo. Saya, Bintoro
dan Sutris pun sepakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar