Rabu, 28 September 2016

Di Balik Penyusunan Buku Foto Eksotika Tepi Benua (3/Terakhir)


Menyusuri Bengawan Solo Purba, Memburu Bintang di Pura Puncak Jagad


di gapura luar pura

Setelah beberapa hari beristirahat untuk mengembalikan stamina yang terkuras di pesisir selatan Paranggupito, kami kemudian memulai lagi penyelusuran potensi yang ada di Wonogiri selatan. Kali ini yang kami datangi adalah Kecamatan Pracimantoro. Kami ingin merekam keindahan yang merupakan bagian dari fenomena alam di kawasan pegunungan kapur (Karst) di wilayah tersebut. 

Keindahan kawasan karst Pracimantoro yang terdiri dari gua, gunung kapur, luweng, dan sungai bawah tanah termasuk jejak sungai Bengawan Solo Purba sudah pasti bukan keindahan yang ala kadarnya. Dunia sudah mengakui itu. Pengakuan pertama adalah pembangunan Museum Karst Dunia di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro.  Sedangkan pengakuan kedua adalah ditetapkannya Kawasan Karst Gunung Sewu (termasuk Pracimantoro dan sekitarnya) sebagai Globak  Geopark (Taman Geopark Dunia) oleh PBB.

Hari masih pagi ketika kami memasuki Kecamatan Pracimantoro. Gua Putri Kencana di Desa Wonodadi adalah keindahan pertama yang kami datangi di wilayah ini. Gua itu berada di bagian utara Kota Kecamatan Pracimantoro. Gua Putri Kencana yang panjang lorongnya sekitar 125 meter itu dihiasi ratusan bahkan ribuan stalagtit dan stalagmit berbagai ukuran. Semuanya masih hidup. Tandanya, di ujung-ujung stalagtit terdapat air yang menetes. 

Dulu, sebelum Gua Gong di Pacitan Jawa Timur ditemukan, Gua Putri Kencana merupakan gua favorit wisatawan. Tapi, setelah penemuan gua maha indah di Pacitan itu ditemukan dan dibuka untuk umum, pamor Gua Putri Kencana perlahan surut. Bahkan, kini mati suri. Hanya peziarah saja yang masih kerap datang ke gua yang diyakini pernah menjadi persianggahan Prabu Brawijaya V/Raja Majapahit terakhir itu.

Setelah mengambil gambar dan data mengenai Gua Putri Kencana, saya memutuskan untuk menyusuri situs Bengawan Solo Purba. Saya sengaja memulainya dari ujung selatan yakni dari wilayah Sadeng, Wonosari, Gunung Kidul, Jogjakarta. Saya pilih menggunakan mobil untuk menyelusuri bekas aliran sungai yang dulu bermuara di Pantai Selatan itu karena sebagian besar situsnya berada di tepi jalan raya.

Bekas aliran sungai itu panjangnya sekitar 12,5 kilometer. Membentang dari Giritontro, Pracimantoro hingga Sadeng, Gunungkidul, Jogjakarta. Saat ini, bekas aliran sungai itu telah berubah menjadi lahan pertanian. Aliran Bengawan Solo berubah ke utara karena proses pengangkatan lempeng benua Eurasia (Benua Asia-Eropa) karena desakan Lempeng Indo-Australia (Benua Australia). Peristiwa geologi itu terjadi jutaan tahun lalu.

Matahari sudah hampir bergulir ke sisi barat langit ketika perjalanan menyelusuri bekas aliran sungai purba itu berakhir. Tapi, perjalanan kami belum berhenti. Perjalanan kami lanjutkan ke Kawasan Museum Karst Dunia. Selain merekam bangunan museum yang futuristik tanpa meninggalkan kesan ke-Jawa-an, kami juga mengunjungi banyak gua yang tersebar di sekitar tempat tersebut.

Di antaranya adalah Gua Tembus, Gua Sodong, Gua Potro Bunder, dan Gua Gilap. Gua Sodong dan Gua Gilap adalah dua gua istimewa di Kawasan Museum Karst Dunia. Gos Sodong istimewa karena merupakan mulut sungai bawah tanah. Artinya, di sebelah barat bangunan MKD terdapat sungai terbuka yang kemudian masuk ke Gua Sodong. Konong, Gua Sodong yang kerap menjadi obyek penelitian itu panjangnya lebih dari 4,5 kilometer.

Sedangkan Gua Gilap istimewa karena diyakini para arkeolog sebagai bagian dari mata rantai pergerakan manusia purba dari wilayah timur ke bagian barat Pulau Jawa. Di dasar gua itu ditemukan artefak berupa peralatan purba serta sisa konsumsi manusia purba berupa tulang belulang  hewan yang saat tak ada lagi di tanah Jawa. Beberapa di antaranya merupakan hewan berukuran besar.

Temuan sisa konsumsi yang berada di lapisan-lapisan tanah di dasar gua juga membuat ahli yakin bahwa gua itu pernah menjadi tempat bermukimnya manusia purba selama ribuan tahun. Asumsi itu berpotensi membalik anggapan bahwa manusia purba tidak hanya singgah sementara di gua. Tapi, hidup menetap dalam jangka waktu lama.

Menjelang petang, kami akhirnya menyelesaikan pengambilan gambar dan data di semua gua dan luweng di sekitar Museum Karst Dunia. “Kita tunggu malam sekalian. Nyari foto langit penuh bintang. Ini langite bersih. Semoga bintange banyak,” kata Arif Budiman, juru foto utama di tim gabungan antara Humas Setda Wonogiri dan Jawa Pos Radar Solo. Saya, Bintoro dan Sutris pun sepakat. 

Akhirnya, kami memilih Pura Puncak Jagat yang berada di puncak bukit di atas Gua Sodong atau di sebalah barat Museum Karst Dunia sebagai spot berburu bintang. Sejak sebelum Maghrib kami sudah berada di tempat peribadatan umat hindu itu. Tapi, foto terbaik baru kami dapat sekitar pukul 21.00. Setelah itu, kami turun dan kembali ke rumah masing-masing. Pekerjaan berikutnya yang kami lakukan adalah menyusun foto dan data-data kami menjadis ebuah buku foto yang kami juduli “EKSOTIKA TEPI BENUA, Melihat Wonogiri Dari Sudut Pandang Yang Berbeda”. (habis) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar