Dibalik Pembuatan Buku Foto Eksotika Tepi Benua (2)
Uji Nyali di Banyutowo, Menjelajah Mitos Makam dan Gua
Hari kedua di Paranggupito kami habiskan dengan menjelajahi banyak
gua, makam, dan petilasan. Kami hanya sekali singgah di pesisir yakni
di muara sungai bawah tanah Banyutowo. Selebihnya, kami habiskan di
wilayah yang jauh dari angin laut dan deburan ombak.
================================================================================
|
arif narsis di tebing banyutowo |
Usai merekam sunrise di puncak Gunung Buthak di kawasan Pantai
Sembukan dan membereskan perlengkapan, saya langsung mengajak tim
meninggalkan pantai itu. Sebagian langsung membersihkan diri di Kantor
Kecamatan Paranggupito. Sebagian ke rumah Pak Ripto. Kemudian, kami
berkumpul untuk sarapan di rumah Pak Ripto.
Kami kemudian bergegas. Pagi itu, Pak Ripto mengajak kami pegunungan
di selatan Dusun Bandungan, Desa Paranggupito, untuk melihat muara
sungai bawah tanah berdebit super besar yakni Banyutowo. Sunagi bawah
tanah itu digadang-gadang bakal menjadi solusi permanen untuk
mengatasi kekeringan yang setiap tahun melanda Paranggupito dan
sekitarnya.
Kami mengendarai mobil melalui jalan berlapis beton yang tersambung
dengan jalan tanah tak rata. Jalan itu berakhir di dekat sebuah telag
berair keruh dan nyaris kering. “Mobilnya diparkir di sini saja. Kita
ke Banyotowo berjalan kaki. Tidak bisa sampai ke sana. Nggak jauh dari
sini,” kata Pak Ripto di sudut telaga.
Dia kemudian memimpin kami melintasi tanah pertanian di dasar bukit.
Setelah itu, jalan setapak di depan kami ternyata sama terjal dan
curamnya seperti saat mendaki Pathuki Ngasem dari Pantai Klothok. Pak
Ripto menyebut jalan setapak mendaki di antara semak dan ilalang itu
merupakan jalan satu-satunya ke Banyutowo.
Rasa lelah di badan karena perjalanan hari sebelumnya yang belum
hilang membuat perjalanan mendaki Gunung Bandungan itu terasa teramat
melelahkan. Hampir setiap lima langkah kami harus berhenti. Bahkan,
ketika sampai di puncak, kaki saya terasa bergetar dan nyaris tak
mampu berdiri lagi.
Tapi, perjalanan belum selesai. Kami harus menuruni bukit ke arah
selatan di mana hamparan lautan luas terbentang. Kami mengikuti jalan
setapak di tengah hamparan ilalang setinggi paha. Jalan itu langsung
menuju ke tebing di sisi timur pantai. Di bawah tebing-tebing vertikal
itulah muara sungai Banyutowo berada.
Rasa lelah serta ekstrimnya jalan menuju ke titik terdekat muara
sungai membuat surut nyali saya dan Sutris. Betapa tidak. Tak ada lagi
jalan setapak. Yang ada adalah ceruk-ceruk kecil di tebing batu. Ceruk
itu menjadi pijakan menuju titik terdekat muara sungai yang
tersembunyi di antara dua tebing vertikal di sisi timur pantai.
Sementara, di bawah ceruk dalam tebing batu itu, jurang menganga
begitu tinggi. Di bagian dasarnya, gelombang samudera tak berhenti
berdebur. Akhirnya, saya dan Sutris memilih menungggu di tepi lereng
penuh ilalang itu. Sementara, yang lain nekat merayap tebing menuju
titik terdekat muara.
Cukup lama mereka berada di balik tebing untuk merekam muara sungai.
Setelah kembali, hanya wajah Pak Ripto saja yang tak pucat. Yang lain
terlihat seperti mayat hidup. “Nek ini tadi bener-bener uji nyali.
Salah berpijak, terjun puluhan meter ke laut,” kata Bintoro ketika
berhasil kembali ke lereng penuh ilalan di mana saya dan Sutris
menunggu.
Setelah beristirahat sejenak, kami kemudian menyusuri jalan yang kami
lewati ketika berangkat. Kami kembali ke telaga di mana kami
meninggalkan mobil untuk menuju ke gua dan makam misterius di
Kandangan, Desa Gudangharjo. Semula, kami mengira gua dan makam itu
bisa dicapai dengan mobil. Tapi, ternyata kami harus berjalan kaki
lagi.
Kami berjalan menyusuri pematang tanah pertanian kering dan berdebu di
sebelah timur telaga. Kami berjalan terus ke timur hingga melewati
beberapa bukit. Paha dan betis saya sudah kembali terasa sakit ketika
mencapai sebuah hamparan pertanian di mana beberapa petani bekerja.
Kami langsung di bawa mendaki lereng bukit di sisi timur laut
pertanian.
|
makam misterius di kandangan |
Di lereng itu tersembunyi sebuah gua yang dikeramatkan warga sekitar.
Mereka menyebutnya Gua Kandangan. Gua tak seberapa dalam dan luas itu
menghadap ke laut lepas. Banyak stalagtit dan stalagmit indah di
dalamnya sehingga lelah kami sedikit terobati.
|
Aku, Rima dan Sutris di mulut Gua Kandangan |
Setelah turun dari gua, kami sempat membeli kelapa muda dari petani
yang kami temui di lahan pertanian itu. Kemudian, kami meneruskan
perjalanan ke arah selatan. Kami melintasi bagian tengah lahan
pertanian yang panas untuk mempersingkat jarak. Di ujung selatan tanah
pertanian, di seberang pematang lahan, kami mendapati tiga makam kuno.
Nisannya sama. Terbuat dari batu padas. Tak ada penanda di setiap nisan.
Penanda justru ada di sebongkah batu di sampingnya. Ada sepotonmg
keramik kecil bertuliskan tiga nama yang diyakini merupakan nama
orang-orang yang dimakamkan di bawah tiga nisan itu. Nama itu adalah
Panembahan Lengkara, Sutejo dan Sutemong. Ketiganya diyakini bangsawan
yang melarikan diri. Karena itu, makam yang tidak membujur ke utara
tapi ke timur laut itu dianggap bertuah sehingga kerap digunakan untuk
tirakat.
Dari makam misterius itu, kami kembali ke telaga di mana kami
memakirkan mobil. Perjalanan kami lanjutkan ke beberapa petilasan dan
gua yang berada di Paranggupito.
Gelaran di Dusun Sambi, Desa Ketos,
adalah petilasan pertama yang kami
datangi usai mengunjungi makam kandangan. Gelaran merupakan hamparan
tanah pertanian nan luas. Di tengahnya terdapat cungkup (rumah kecil
pelindung nisan). Di bawah cungkup itu diyakini dimakamkan seorang
tokoh yang dikenal dengan nama Ki Jebug.
Dia adalah murid Ki Curocono yang dimakamkan tak jauh di sebelah
utaranya. Konon, Ki Jebug yang maha sakti hingga bisa membuat pohon
kelapa menunduk itu tewas karena bertikai dengan Ki Curocono yang
sama-sama sakti. Selama ini, Ki Curocono adalah tokoh yang diyakini
teramat sakti dan berjasa untuk Paranggupito.
Karena itu, di petilasannya dulu kerap digelar ritual Udan Dhawet.
Ritual itu merupakan upacara kuno asli Paranggupito untuk memanggil
hujan. Biasanya dilakukan saat musim kemarau benar-benar menggila di
wilayah itu. Dari makam itu, kami kemudian menuju ke hamparan tanah
pertanian luas lain yang berada di bagian barat makam ki Curocono.
Di tengah hamparan makam itu tumbuh serumpun pohon besar. Ada dua
makam di bawahnya. Makam itu disebut warga sebagai makam sepasang
pengantin yang diketahui menghilang dan kemudian ditemukan tinggal
tulang belulang di dasar pohon. Karena itu, pohon beserta makam
tersebut dikenal dengan nama Petilasan Mbah Manten.
Ada fenomena aneh yang diyakini berkaitan erat dengan spirit kesetiaan
pengantin yang meninggal bersama-sama di bawah pohon tersebut.
Fenomena itu adalah daun kering dari ranting pohon yang tak pernah
pergi jauh dari pangkalnya. Keberadaan daun yang tetap “setia” itu
dapat dilihat dengan jelas karena menumpuk seperti pola mengeliling
pangkal tiga pohon yang tumbuh menyatu di petilasan tersebut.
Dari Petilan Mbah Manten, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju
ke Makam Kanigoro yang berada di sudut lain Dusun Sambi. Makam itu
berada di bawah pohon Kaliander dan Kedoya yang tumbuh di samping
Pasar Pahing di dusun itu. Dulu, makam itu dikenal sebagai makam Mbah
Tondho, seorang pengelana sakti yang tak diketahui asa-usulnya. Mbah
Tondho disebut sebagai sosok berjasa yang membuka hutan belantara di
Ketos untuk dijadikan pemukiman.
Belakangan, sekelompok pegiat spritual dari Semarang meyakini Mbah
Tondho tak lain adalah Ki Ageng Kebo Kanigoro, saudara kandung Ki
Ageng Kebo Kenongo. Kebo Kanigoro memutuskan menyingkir ke daerah
terpencil tersebut untuk menghindari pengejaran pasukan Kasultanan
Demak. Hal itu dikarenakan Kebo Kanigoro merupakan murid langsung
Syech Siti Jenar yang dianggap mengajarkan ajaran sesat.
Dari makam Kanigoro, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah gua yang
baru dibuka di Dusun Ketos, Desa Ketos. Gua itu berada tak jauh dari
perkampungan. Hanya berada di atas tebing yang berada di belakang
pemukiman warga. Gua itu dinamakan Gua Slamet karena lubang baru yang
saat ini tengah dilebarkan itu ditemukan oleh Slamet, warga setempat.
Seperti kebanyakan gua, banyak stalagtit dan stalagmit indah di gua
tersebut. Sampai saat kami datang, proses penggalian masih berjalan.
Warga masih berupaya menyingkirkan bongkahan batu besar di tengah
lorong menuju bagian gua yang lebih dalam. Warga berjanji akan berupa
membuka gua itu sampai ujung dengan harapan akan menjadi salah satu
destinasi wisata baru.
Kami meninggalkan Gua Slamer saat matahari sudah bergulir ke ufuk
barat. Pak Ripto kemudian meminta saya menginjak gas lebih dalam agar
waktu yang tersisa cukup untuk mendatangi Gua Suci dan Luweng Sulingan
di Dusun Plawon, Desa Gunturharjo. Di tengah perjalanan, kami berhenti
untuk mengisi perut di warung ala kadarnya di tepi jalan.
Di Dusun Plawon, kami meminta bantuan kepala dusun setempat yakni Mbak
Kristiana untuk diantar ke Gua Suci di sisi timur dusun itu. Kami
lagi-lagi harus mengandalkan kaki untuk mencapai gua kecil yang juga
menjadi mata air utama warga tersebut. Gua di bawah pangkal pohon
beringin itu dinamakan Gua Suci karena diyakini menjadi tempat Raja
Brawijaya V/ Raja terakhir Majapahit untuk mensucikan diri sebelum
kembali dan akhirnya muksa di Gunung Lawu.
Setelah itu, kami diajak Kristina menuju ke Luweng Sulingan yang
berada di bagian lain Dusun Plawon. Luweng itu begitu dalam dan terjal
sehingga tak mungkin kami masuki yang datang tanpa sarana pendukung
panjat tebing. Akhirnya, kami harus puas dengan hanya melihat dan
memotret dari bagian luar luweng yang dalamnya diyakini hampir 100
meter itu.
Saat kami selesai di Luweng Sulingan, matahari sudah nyaris tenggelam.
Kami lantas kembali ke Kota Kecamatan Paranggupito untuk mandi dan
makan malam di rumah Pak Ripto. Makan malam kali itu merupakan yang
terakhir di rumah mantan Sekretaris Desa Paranggupito tersebut. Usai
makan malam, kami sempat foto bersama dan kemudian pamitan untuk
pindah tempat menginap di rumah Widhi Hartono, Kadus Gunturharjo.
|
team bersama keluarga Pak Ripto |
Tak ada satu pun yang tak tak mengeluh lelah sesaat setelah
meninggalkan rumah Pak Ripto untuk menuju ke rumah Widhi Hartono di
Dusun/Desa Gunturharjo. Otot betis dan paha serta punggung sudah
benar-benar tak mau diajak berkompromi. Semuanya terasa begitu
>njarem<. Tapi, pekerjaan malam itu belum selesai. Masih ada beberapa
kewajiban yang memang hanya bisa dilakukan malam itu.
Karena itu, kami tak lama berada di rumah Widhi Hartono. Kami hanya
meninggalkan satu mobil berikut perlengkapan logistik di halaman rumah
yang malam itu akan menjadi tempat kami bermalam. Selanjutnya, kami
pamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Pantai Nampu di ujung selatan
Dusun Dringo, Desa Gunturharjo itu.
Kami sempat menjemput Pak Rakino, Kadus Guntur untuk menemani kami di
Pantai Nampu. Tapi, kami kurang beruntung. Pak Rakino malam itu sedang
tak enak badan. Bahkan, saat kami datang menjemput, dia baru saja
dikeroki istrinya. "Waduh, saya sedang nggak enak badan ini Mas. Gini
aja, biar ditemani >lare< (anak muda) sini saja," kata Pak Rakino
lantas memanggil seorang remaja yang tengah bermain gitar di simpang
empat dusun dan memintanya menemani kami.
Kami pun kemudian berangkat ke Pantai Nampu. Kami sempat mengambil
seikat kayu bakar dan beberapa pelepah daun kelapa kering yang sudah
kami siapkan sebelumnya untuk di bawa ke pantai. Kami ingin membuat
api unggun di pasir pantai. Harapannya, kami bisa mendapatkan foto
dramatis dengan dukungan cahaya api unggun dan bulan yang membias di
gelombang laut.
Kami memang berhasil menciptakan api unggun di pasir pantai. Cahanya
cukup menerangi pantai yang semula gelap gulita. Kondisi makin terang
karena rembulan juga sudah mulai terlihat di ufuk timur. Tapi,
langitnya tak bersih. Ada awan hitam yang mengambang dan menghalangi
cahaya bulan. Celakanya lagi, bulan membuat laut pasang. Lambat laun,
ombak semakin tinggi dan makin jauh menjangkau pasir pantai.
Bahkan, sebelum kami menemukan momen baik untuk mengambil foto dan
video, gelombang sudah nyaris menyentuh api unggun. Meski beberapa
menolak, saya memutuskan untuk segera meninggalkan pantai. Saya tidak
mau ada hal buruk yang menimpa karena ombak benar-benar sudah tinggi.
"Ok. Ini keputusannya. Kita tinggalkan pantai saat ini juga. Tidak ada
tawar menawar. Ini sudah terlalu berbahaya," kata saya langsung
mengajak semua anggota tim bergerak dari pantai menuju tebing gunung.
|
sebelum dikejar gelombang pasang di Pantai Nampu |
Raut muka Arif, fotographer kami, terlihat kecewa. Bahkan, sambil
berjalan mendaki tebing, dia berkelakar jika malam itu saya berubah
menjadi tidak ekstrim. Menurut dia, kami harus menunggu beberapa saat
lagi untuk menunggu bulan tinggi. Tapi, saya tetap di memutuskan bahwa
keselamatan adalah hal utama.
Kami kemudian sampai di tikungan jalan setapak berlapis cor yang
merupakan jalan naik turun dari pelataran parkir ke pasir pantai. Ada
warung di dekatnya. Akhirnya, kami sepakat untuk menjadikan halaman
sempit di depan warung yang menghadap jurang itu sebagai titik
pengambilan foto hamparan pasir Pantai Nampu. Sebab, dari halaman
warung itu, cahaya merah api unggun kami masih terlihat. Kami juga
bisa melihat bulan yang merangkak naik. Tentunya, dari halaman itu,
juga terlihat jelas hamparan pasir dan air laut yang memendarkan
cahaya bulan.
Cukup lama kami di warung itu. Sementara Arif dan Aji serta saya
berupaya merekam keindahan malam di Nampu, Bintoro memilih memainkan
gitar pinjaman dari remaja yang menami kami. Sedangkan Sutris dan Rima
bernyanyi mengiringi petikan gitar di tangan Bintoro. Konser darurat
itu berlangsung lama dan diselingi canda tawa.
Banyak lagu yang dimainkan. Mulai dari >Layang Kangen<, >Sewu
Kutha<,
>Suci Dalam Debu< hingga >Isabella<. Tapi, jangan bayangkan lagu-lagu
itu dimainkan sempurna. Baik dari lirik maupun nadanya. Bahkan, banyak
yang hanya reffnya saja. Ada pula yang hanya bait pertama saja. "Ganti
lagu wae. Aku suara satu, Rima suara dua. Sutris suara sumbang," kata
Bintoro lantas ngakak diikuti lainnya. Termasuk Sutris yang ngakak
sambil garuk-garuk kepala.
Setelah mendapat komando dari Arif bahwa dia sudah mendapatkan yang
dicari, kami kemudian bergegas meninggalkan pantai yang sepi itu. Saat
itu, waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Setelah meninggalkan remaja
pengantar kami di simpang empat dusun, kami langsung menuju rumah
Widhi Hartono. Ketika itu, stamina kami benar-benar sudah terkuras
habis.
Di rumah Kadus Guntur itu, kami langsung membongkar logistic. Kami
siapkan field bed di teras rumah. Kami sengaja ingin tidur di luar
rumah untuk merasakan sensasi pedesaan khas Paranggupito. Sementara,
Rima memilih tidur di salah satu kamar yang disiapkan si empunya
rumah. Tak lama setelah kami menata field bed, Idun, tetangga desa
saya di Baturetno yang menikahi gadis asal Paranggupito datang menemui
saya. Dari dia pula, saya akhirnya bisa mendapatkan seorang tukan urut
untuk melemaskan otot saya.
Semua anggota tim juga menginginkan layanan serupa. Tapi, hanya ada
satu tukang urut. Akhirnya, hanya saya yang malam itu mengerang dan
menggelinjang menahan sakit karena urutan si tukang urut. "Waduh, apa
sampeyan habis macul mas kok otote kenceng semua. Ini kalau saya
ngurutnya keras sedikit, pasti sampean menjerit," kata tukang urut
yang kemudian benar-benar membuktikan ucapannya hingga saya menjerit
menahan sakit.
Setelah lebih dari satu jam, akhirnya layanan urut itu usai. Saya pun
menyusul tidur. Keesokan harinya, usai sarapan dengan menu khas
ditambah bebek goreng sajian nyonya Widhi Hartono, kami melanjutkan
petualangan. Hari itu, kami memilih lagi jalur garis pantai. Yakni
dari Pantai Nampu ke arah barat.
Matahari belum terlalu tinggi ketika kami bergerak
meninggalkan rumah
Widhi Hartono. Kali ini, kami memulai perjalanan dari timur ke barat.
Pantai Nampu yang merupakan batas antara Jawa Tengah dan Jawa Timur
menjadi titik awal perjalanan kami pagi itu. Selain Pak Ripto dan Mas
Danang, hari itu kami juga ditemani Pak Rakino, Kepala Dusun Dringo,
Desa Gunturharjo, yang malam sebelumnya kurang sehat.
Tak lama kami berada di Pantai Nampu. Karena kami sudah punya cukup
data mengenai pantai paling terkenal di Wonogiri itu. Kami hanya
melengkapi foto landscape hamparan pasir putih nan panjang di pantai
itu saja. Kemudian, kami beringsut ke teluk di sebelah barat gunung di
ujung barat pantai itu. Ada teluk kecil berpasir putih di sana. Orang
mengenali pantai itu dengan nama Pringjono.
Dari atas tebing, pantai kecil di antara dua bukti itu terlihat cukup
menarik. Pasirnya putih seperti pasir di Pantai Nampu. Ombaknya juga
tak terlalu tinggi sehingga terlihat lebih aman untuk dijadikan tempat
bermain pasir dan air. Di sebelah utara yang juga merupakan tebing,
terlihat sebuah goresan besar berwarna putih. “Itu adalah aliran air
terjun. Kalau kemarau gini kering. Kalau musim hujan, ada airnya,”
kata Pak Rakino.
Sementara, di antara bukit-bukit itu juga terlihat guratan memanjang
di antara rerumputan kering. Guratan memanjang itu adalah jalan
setapak yang biasa dilalui warga untuk menjangkau pantai-pantai di
sekitarnya guna mencari udang, usal/siput laut, atau rumput laut.
Sayangnya, hanya ada satu jalan untuk menjangkau pasir di Pringjono.
Yakni dengan menuruni lereng curam di sisi barat bukti yang membatasi
pantai itu dengan Pantai Nampu.
Perjalanan pun kemudian kami lanjutkan ke sisi barat. Pantai Waru
adalah tujuan berikutnya. Perlu beberapa puluh menit berjalan mendaki
lerengn bukit untuk mencapai pantai yang pernah digadang-gadang untuk
pelabuhan pendaratan ikat itu. Sayangnya, saat kami tiba di Pantai
Waru, ombak masih sangat tinggi hingga ujungnya mencapai dasar bukit.
Imbasnya, kami tak bisa mengabadikan keindahan hamparan pasir putih di
antara bongkahan karang di pantai itu. Keindahan itu tertutup air laut
yang masih pasang. Yang terlihat hanya kerikil-kerikil mengkilat di
dasar tebing gunung yang basah karena terpercik ombak laut. Pak Rakino
kemudian mengajak kami ke Gua Panengan yang berada di tebing bagian
timur pantai itu.
Gua itu merupakan sebuah ceruk di tebing yang menghadap ke Pantai
Waru. Gua tersebut juga dikenal dengan nama Gua Jepang karena sering
digunakan tentara Negeri Matahari terbit itu sebagai tempat
beristirahat. Pada masa penjajahan dulu, Paranggupito juga tak luput
dari pendudukan Jepang.
Malah, jalan utama di Kecamatan Paranggupito merupakan salah satu
tinggalan tentara Jepang. Jalan itu dibangun oleh Rhomusa (kerja
paksa). Nah, di sela-sela pengawasan kerja paksa itu, tentara Jepang
menjadikan Gua Panengen sebagai tempat istirahat. Selain nyaman, gua
itu juga tak jauh dari mata air tawar yang bisa digunakan untuk
mencukupi kebutuhan. Namanya juga mata air Waru. Mata air itu cukup
besar hingga di musim kemarau seperti saat ini, limpahan airnya masih
cukup deras mengalir ke pantai.
Ada keindahan yang layak dinikmati di gua itu. Yakni stalagtit yang
menempel di dinding gua. Sayangnya, ada bagian dinding yang runtuh
sehingga gua itu tak terlalu dalam. Diyakini, jika runtuhan itu
disingkirkan, gua akan lebih dalam. Sayangnya, sampai saat ini belum
ada upaya menyingkirkan runtuhan itu untuk menjawab penasaran mengenai
seberapa dalam gua itu.
Dari Gua Panengan dan Pantai Waru, kami melanjutkan perjalanan
menyusuri jalan setapak di antara tonjolan batuan kapur di lereng
gunung di sebelah barat pantai itu. Pak Rakino membawa kami ke sebuah
pantai yang sama sekali tak terlihat dari atas tebing. Pantai itu
tersembunyi di bawah tebing batu vertikal yang tinggi serta
rumpun-rumpun pandan laut yang rimbun.
Warga menamai pantai yang hanya bisa dijangkau dengan jalan setapak
menuruni lereng curam itu dengan nama Karangpayung. Jalan setapak itu
terbilang ekstrim. Yakni hanya berupa permukaan tonjolan batu di
tebing. Parahnya lagi, permukaan batu untuk pijakan kaki itu selalu
basah oleh air laut yang terbawa angin. Sedikit aman karena ada batang
pandan laut yang bisa dijadikan pegangan.
Apa yang disampaikan Widhi Hartono, Kadus Gunturharjo, dan Pak Rakino,
Kadus Dringo, mengenai keindahan Pantai Karangpayung terbukti benar.
Pantai yang tersembunyi itu jauh lebih indah dibanding pantai-pantai
lainnya. Ada hamparan pasir putih yang panjang. Ada tonjolan-tonjolan
karang berukir yang di antara hamparan pasir putih itu.
Yang istimewa adalah adanya ceruk di dasar tebing vertikal di bagian
barat pantai itu. Ceruk yang bisa menampung puluhan orang itu bisa
menjadi tempat berteduh dari sengatan matahari. Terlebih lagi, tebing
vertikal di atasnya juga teramat tinggi hingga bisa menyembunyikan
pantai itu dari paparan sinar matahari.
Cukup lama kami di pantai itu. Kami benar-benar menjadikan Pantai
Karangpayung sebagai tempat piknik di antara pekerjaan kami. Setelah
puas menikmati Karangpayung yang masih perawan itu, kami kemudian naik
lagi ke atas tebing. Kami melanjutkan perjalanan ke arah barat.
Menujuke Karangpayung.
Ini juga merupakan bagian dari garis pantai. Tapi, tak ada hamparan
pasir putih. Yang ada adalah sebuah tebing vertikal yang bagian
bawahnya langsung menyambung ke pantai. Tebing itu terus dihantam
gelombang hingga menciptakan buih putih. Selama ini, Karangbang adalah
sebuah tempat pemancingan terkenal di Paranggupito.
|
padang ilalang karangbang |
Ada yang indah sebelum Karangbang tergapai. Yakni sebuah hamparan
tanah kosong yang ditumbuhi ilalang setinggi lutut. Dari hamparan
ilalang yang di sisi barat-utara dan timur dibatasi barisan pohon
kelapa itu, kami melihat hamparan laut yang biru. Sedang di bagian
barat, terlihat gelombang yang pecah menghantam pantai berbatu.
Dari Karangbang, kami kemudian kembali ke Pantai Waru di mana Mas
Danang dan kendaraan pengangkut menunggu. Setelah itu, kami menuju ke
Desa Gudang Harjo untuk menyinggahi satu-satunya pantai yang layak
dikunjungi di Desa itu yakni Pantai Kalimirah.
Dari Pantai Waru, Mas Danang langsung mengarahkan mobil yang
kami
tumpangi ke pesisir Desa Gudangharjo. Pantai Kalimirah adalah
satu-satunya tujuan kami siang itu. Kami menyusuri jalan desa yang
hampir seluruhnya berlapis cor beton. Kadang kami melintasi
perkampungan yang didominasi rumah-rumah limasan khas Jawa Tengah yang
sederhana. Kadang kami melintasi hamparan tanah pertanian kering yang
luas. Sesekali pula, kami melintas di antara lembah perbukitan kapur
yang juga terlihat kering. Sedikit pohon di lerengnya terlihat
meranggas tanpa daun.
Perjalanan kami menggunakan kendaraan berakhir di sebuah ruas jalan
yang menanjak. Lapisan cor beton di tanjakan tinggi itu masih terlihat
baru sehingga kendaraan belum diizinkan melindasnya. Jalan yang
disebelahnya terbentang jurang dalam itu merupakan satu-satunya jalan
menuju Pantai Kalimirah. "Kita jalan kaki dari sini. Nggak jauh,
pantainya di balik bukit itu," kata Mas Danang.
Kami kemudian berjalan kaki menaiki jalan menanjak berlapis beton baru
itu. Di bagian atas, jalan itu menikung. Nah, di ruas jalan yang
terlindung bukit ternyata ada belasan pekerja yang tengah meneruskan
pembangunan jalan. Kami sempat beristirahat sejenak sambil
bercengkerama dengan pekerja-pekerja tersebut.
Setelah itu kami meneruskan perjalanan. Ternyata, Mas Danang hanya
bercanda ketika mengatakan Pantai Kalimirah ada di balik bukit. Sebab,
pantai itu ternyata masih berada di balik beberapa bukit. Jaraknya
lebih dari 1 kilometer dari tempat kami bertemu para pekerja
pembangunan jalan. Jalan menuju pantai itu masih berupa jalan tanah
berbatu terjal dan menurun. Bahkan, beberapa meter menjelang pantai,
kami harus merangkak turun.
Pantai Kalimirah di depan kami bukan merupakan pantai indah. Hanya ada
sedikit pasir putih yang terhampar di antara batuan karang tajam. Ada
pula hamparan batuan berwarna kemerahan. Batuan merah itu pula yang
membuat pantai itu dinamakan Kalimirah. "Pantai ini beberapa kali
ditinjau dari pemerintah pusat. Ada rencana untuk menjadikan pantai
ini sebagai lokasi pembangunan pelabuhan niaga internasional. Itu
merupakan bagian dari program pengembangan wilayah Jawa bagian
selatan," kata Danang.
Dia kemudian menambah cerita bahwa terkait dengan rencana itu,
pemerintah desa dan kecamatan juga berupaya membangunan sarana
pendukung. Salah satunya adalah pembangunan jalan yang nanti akan
bersambung dengan jalan antar pantai yang sudah menghubungkan pesisir
Paranggupito bagian barat (Pantai Dhadapan hingga Sembukan) dan Bagian
timur Paranggupito (Pantai Nampu-Pantai Pringjono).
Setelah mengumpulkan data dan gambar, kami kemudian meninggalkan
Pantai Kalimirah. Kami melewati jalan yang sebelumnya kami lewati.
Bedanya, kali ini kami harus menanjak hingga stamina benar-benar
terkuras. Kemudian, kami meninggalkan Desa Gudangharjo untuk menuju ke
Desa Gendayakan untuk mengunjungi Luweng Borampuh. Mulut sungai bawah
tanah itu sangat dikeramatkan warga hingga hanya untuk mendekatinya
saja, warga enggan.
Sama seperti kebanyakan wilayah di Paranggupito di awal musim kemarau
ini, bukit kapur tandus, ladang kosong tanpa tanaman serta semak
mengering juga kami temui di sepanjang perjalanan menuju Gendayakan.
Beruntung perjalanan ini kami mulai ketika matahari mulai tergelincir
ke ufuk barat, hingga panasnya tidak lagi terasa menyengat. Luweng itu
berada di tepi ladang pertanian. Mudah dijangkau meski harus berjalan
kaki sekitar satu kilometer dari titik kami parkir.
Selama perjalanan itu, Heri Sutopo, Kades Gendayakan yang mengantarkan
bercerita tentang Luweng Borampuh yang dikeramatkan itu. Keramatnya
luweng di tepi timur hamparan lahan pertanian itu terkait dengan
mitos/legenda >manusia terbang/melayang< yang diyakini pernah hidup di
desa itu.
Manusia sakti yang bisa melompat tinggi dan jauh hingga terlihat
seperti terbang itu semula dikenal sebagai petani rajin bernama Mbah
Glemboh. Suatu hari, terungkap bahwa Mbah Glemboh ternyata raksasa
bertampang buruk itu. Warga sepakat untuk menangkap Mbah Glemboh.
Mbah Glemboh tak mau melawan karena khawatir akan melukai warga desa.
Tapi, dia juga tak mau menyerah. Dia pilih berupaya menghindar dengan
cara melompat/terbang dari satu pohon ke pohon lain dan dari satu
dusun ke dusun lain. Akhirnya, dia jatuh di dekat luweng di Hutan
Larangan yang angker. Saat itu, dia berubah wujud menjadi batu yang
menyerupai manusia.
Warga kemudian melemparkan batu jelmaan Mbah Glemboh itu ke
luweng
tersebut. Tapi, batu itu tersangkut di bagian tengah luweng. Yakin
Mbah Glemboh sudah mati, warga meninggalkan luweng itu. Untuk
mengenangnya, luweng itu dinamakan Borampuh, yang berasal dari kata
>bor< (mabor/terbang) dan ampuh (sakti).
Usai menyambangi Luweng Borampuh, tim kembali ke titik terakhir dimana
mobil rombongan terparkir. Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke
ladang Cabe Jamu. Ini adalah tanaman sejenis rempah yang dikembangkan
warga setempat. Harganya cukup stabil hingga dapat diandalkan untuk
mencukupi kebutuhan hidup warga. Berbeda dengan komoditas pertanian
lain, cabe jamu ini ditanam di antara batuan kapur di lahan pertanian.
Batuan itu sekaligus menjadi >rambatan< tanaman yang batang dan
daunnya mirip sirih tersebut. Ladang cabai jamu itu menjadi tujuan
akhir petualangan kami di Paranggupito. Saya kemudian memutuskan untuk
mengakhiri perjalanan itu karena stamina kami benar-benar sudah sampai
pada titik terendah. Saya kemudian mengajak pulang untuk bertemu
keluarga. Terlebih lagi, saat itu, Bintoro berulangtahun hingga
kehadirannya di rumah sangat diharapkan istri dan anak-anaknya...