Rabu, 28 September 2016

Di Balik Penyusunan Buku Foto Eksotika Tepi Benua (3/Terakhir)


Menyusuri Bengawan Solo Purba, Memburu Bintang di Pura Puncak Jagad


di gapura luar pura

Setelah beberapa hari beristirahat untuk mengembalikan stamina yang terkuras di pesisir selatan Paranggupito, kami kemudian memulai lagi penyelusuran potensi yang ada di Wonogiri selatan. Kali ini yang kami datangi adalah Kecamatan Pracimantoro. Kami ingin merekam keindahan yang merupakan bagian dari fenomena alam di kawasan pegunungan kapur (Karst) di wilayah tersebut. 

Keindahan kawasan karst Pracimantoro yang terdiri dari gua, gunung kapur, luweng, dan sungai bawah tanah termasuk jejak sungai Bengawan Solo Purba sudah pasti bukan keindahan yang ala kadarnya. Dunia sudah mengakui itu. Pengakuan pertama adalah pembangunan Museum Karst Dunia di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro.  Sedangkan pengakuan kedua adalah ditetapkannya Kawasan Karst Gunung Sewu (termasuk Pracimantoro dan sekitarnya) sebagai Globak  Geopark (Taman Geopark Dunia) oleh PBB.

Hari masih pagi ketika kami memasuki Kecamatan Pracimantoro. Gua Putri Kencana di Desa Wonodadi adalah keindahan pertama yang kami datangi di wilayah ini. Gua itu berada di bagian utara Kota Kecamatan Pracimantoro. Gua Putri Kencana yang panjang lorongnya sekitar 125 meter itu dihiasi ratusan bahkan ribuan stalagtit dan stalagmit berbagai ukuran. Semuanya masih hidup. Tandanya, di ujung-ujung stalagtit terdapat air yang menetes. 

Dulu, sebelum Gua Gong di Pacitan Jawa Timur ditemukan, Gua Putri Kencana merupakan gua favorit wisatawan. Tapi, setelah penemuan gua maha indah di Pacitan itu ditemukan dan dibuka untuk umum, pamor Gua Putri Kencana perlahan surut. Bahkan, kini mati suri. Hanya peziarah saja yang masih kerap datang ke gua yang diyakini pernah menjadi persianggahan Prabu Brawijaya V/Raja Majapahit terakhir itu.

Setelah mengambil gambar dan data mengenai Gua Putri Kencana, saya memutuskan untuk menyusuri situs Bengawan Solo Purba. Saya sengaja memulainya dari ujung selatan yakni dari wilayah Sadeng, Wonosari, Gunung Kidul, Jogjakarta. Saya pilih menggunakan mobil untuk menyelusuri bekas aliran sungai yang dulu bermuara di Pantai Selatan itu karena sebagian besar situsnya berada di tepi jalan raya.

Bekas aliran sungai itu panjangnya sekitar 12,5 kilometer. Membentang dari Giritontro, Pracimantoro hingga Sadeng, Gunungkidul, Jogjakarta. Saat ini, bekas aliran sungai itu telah berubah menjadi lahan pertanian. Aliran Bengawan Solo berubah ke utara karena proses pengangkatan lempeng benua Eurasia (Benua Asia-Eropa) karena desakan Lempeng Indo-Australia (Benua Australia). Peristiwa geologi itu terjadi jutaan tahun lalu.

Matahari sudah hampir bergulir ke sisi barat langit ketika perjalanan menyelusuri bekas aliran sungai purba itu berakhir. Tapi, perjalanan kami belum berhenti. Perjalanan kami lanjutkan ke Kawasan Museum Karst Dunia. Selain merekam bangunan museum yang futuristik tanpa meninggalkan kesan ke-Jawa-an, kami juga mengunjungi banyak gua yang tersebar di sekitar tempat tersebut.

Di antaranya adalah Gua Tembus, Gua Sodong, Gua Potro Bunder, dan Gua Gilap. Gua Sodong dan Gua Gilap adalah dua gua istimewa di Kawasan Museum Karst Dunia. Gos Sodong istimewa karena merupakan mulut sungai bawah tanah. Artinya, di sebelah barat bangunan MKD terdapat sungai terbuka yang kemudian masuk ke Gua Sodong. Konong, Gua Sodong yang kerap menjadi obyek penelitian itu panjangnya lebih dari 4,5 kilometer.

Sedangkan Gua Gilap istimewa karena diyakini para arkeolog sebagai bagian dari mata rantai pergerakan manusia purba dari wilayah timur ke bagian barat Pulau Jawa. Di dasar gua itu ditemukan artefak berupa peralatan purba serta sisa konsumsi manusia purba berupa tulang belulang  hewan yang saat tak ada lagi di tanah Jawa. Beberapa di antaranya merupakan hewan berukuran besar.

Temuan sisa konsumsi yang berada di lapisan-lapisan tanah di dasar gua juga membuat ahli yakin bahwa gua itu pernah menjadi tempat bermukimnya manusia purba selama ribuan tahun. Asumsi itu berpotensi membalik anggapan bahwa manusia purba tidak hanya singgah sementara di gua. Tapi, hidup menetap dalam jangka waktu lama.

Menjelang petang, kami akhirnya menyelesaikan pengambilan gambar dan data di semua gua dan luweng di sekitar Museum Karst Dunia. “Kita tunggu malam sekalian. Nyari foto langit penuh bintang. Ini langite bersih. Semoga bintange banyak,” kata Arif Budiman, juru foto utama di tim gabungan antara Humas Setda Wonogiri dan Jawa Pos Radar Solo. Saya, Bintoro dan Sutris pun sepakat. 

Akhirnya, kami memilih Pura Puncak Jagat yang berada di puncak bukit di atas Gua Sodong atau di sebalah barat Museum Karst Dunia sebagai spot berburu bintang. Sejak sebelum Maghrib kami sudah berada di tempat peribadatan umat hindu itu. Tapi, foto terbaik baru kami dapat sekitar pukul 21.00. Setelah itu, kami turun dan kembali ke rumah masing-masing. Pekerjaan berikutnya yang kami lakukan adalah menyusun foto dan data-data kami menjadis ebuah buku foto yang kami juduli “EKSOTIKA TEPI BENUA, Melihat Wonogiri Dari Sudut Pandang Yang Berbeda”. (habis) 

Dibalik Pembuatan Buku Foto Eksotika Tepi Benua (2)



Dibalik Pembuatan Buku Foto Eksotika Tepi Benua (2)

Uji Nyali di Banyutowo, Menjelajah Mitos Makam dan Gua

Hari kedua di Paranggupito kami habiskan dengan menjelajahi banyak
gua, makam, dan petilasan. Kami hanya sekali singgah di pesisir yakni
di muara sungai bawah tanah Banyutowo. Selebihnya, kami habiskan di
wilayah yang jauh dari angin laut dan deburan ombak.

================================================================================
arif narsis di tebing banyutowo

Usai merekam sunrise di puncak Gunung Buthak  di kawasan Pantai
Sembukan dan membereskan perlengkapan, saya langsung mengajak tim
meninggalkan pantai itu. Sebagian langsung membersihkan diri di Kantor
Kecamatan Paranggupito. Sebagian ke rumah Pak Ripto. Kemudian, kami
berkumpul untuk sarapan di rumah Pak Ripto.

Kami kemudian bergegas. Pagi itu, Pak Ripto mengajak kami pegunungan
di selatan Dusun Bandungan, Desa Paranggupito, untuk melihat muara
sungai bawah tanah berdebit super besar yakni Banyutowo. Sunagi bawah
tanah itu digadang-gadang bakal menjadi solusi permanen untuk
mengatasi kekeringan yang setiap tahun melanda Paranggupito dan
sekitarnya.

Kami mengendarai mobil melalui jalan berlapis beton yang tersambung
dengan jalan tanah tak rata. Jalan itu berakhir di dekat sebuah telag
berair keruh dan nyaris kering. “Mobilnya diparkir di sini saja. Kita
ke Banyotowo berjalan kaki. Tidak bisa sampai ke sana. Nggak jauh dari
sini,” kata Pak Ripto di sudut telaga.

Dia kemudian memimpin kami melintasi tanah pertanian di dasar bukit.
Setelah itu, jalan setapak di depan kami ternyata sama terjal dan
curamnya seperti saat mendaki Pathuki Ngasem dari Pantai Klothok. Pak
Ripto menyebut jalan setapak mendaki di antara semak dan ilalang itu
merupakan jalan satu-satunya ke Banyutowo.

Rasa lelah di badan karena perjalanan hari sebelumnya yang belum
hilang membuat perjalanan mendaki Gunung Bandungan itu terasa teramat
melelahkan. Hampir setiap lima langkah kami harus berhenti. Bahkan,
ketika sampai di puncak, kaki saya terasa bergetar dan nyaris tak
mampu berdiri lagi.

Tapi, perjalanan belum selesai. Kami harus menuruni bukit ke arah
selatan di mana hamparan lautan luas terbentang. Kami mengikuti jalan
setapak di tengah hamparan ilalang setinggi paha. Jalan itu langsung
menuju ke tebing di sisi timur pantai. Di bawah tebing-tebing vertikal
itulah muara sungai Banyutowo berada.

Rasa lelah serta ekstrimnya jalan menuju ke titik terdekat muara
sungai membuat surut nyali saya dan Sutris. Betapa tidak. Tak ada lagi
jalan setapak. Yang ada adalah ceruk-ceruk kecil di tebing batu. Ceruk
itu menjadi pijakan menuju titik terdekat muara sungai yang
tersembunyi di antara dua tebing vertikal di sisi timur pantai.

Sementara, di bawah ceruk dalam tebing batu itu, jurang menganga
begitu tinggi. Di bagian dasarnya, gelombang samudera tak berhenti
berdebur. Akhirnya, saya dan Sutris memilih menungggu di tepi lereng
penuh ilalang itu. Sementara, yang lain nekat merayap tebing menuju
titik terdekat muara.

Cukup lama mereka berada di balik tebing untuk merekam muara sungai.
Setelah kembali, hanya wajah Pak Ripto saja yang tak pucat. Yang lain
terlihat seperti mayat hidup. “Nek ini tadi bener-bener uji nyali.
Salah berpijak, terjun puluhan meter ke laut,” kata Bintoro ketika
berhasil kembali ke lereng penuh ilalan di mana saya dan Sutris
menunggu.

Setelah beristirahat sejenak, kami kemudian menyusuri jalan yang kami
lewati ketika berangkat. Kami kembali ke telaga di mana kami
meninggalkan mobil untuk menuju ke gua dan makam misterius di
Kandangan, Desa Gudangharjo. Semula, kami mengira gua dan makam itu
bisa dicapai dengan mobil. Tapi, ternyata kami harus berjalan kaki
lagi.

Kami berjalan menyusuri pematang tanah pertanian kering dan berdebu di
sebelah timur telaga. Kami berjalan terus ke timur hingga melewati
beberapa bukit. Paha dan betis saya sudah kembali terasa sakit ketika
mencapai sebuah hamparan pertanian di mana beberapa petani bekerja.
Kami langsung di bawa mendaki lereng bukit di sisi timur laut
pertanian.
makam misterius di kandangan


Di lereng itu tersembunyi sebuah gua yang dikeramatkan warga sekitar.
Mereka menyebutnya Gua Kandangan. Gua tak seberapa dalam dan luas itu
menghadap ke laut lepas. Banyak stalagtit dan stalagmit indah di
dalamnya sehingga lelah kami sedikit terobati.
Aku, Rima dan Sutris di mulut Gua Kandangan

Setelah turun dari gua, kami sempat membeli kelapa muda dari petani
yang kami temui di lahan pertanian itu. Kemudian, kami meneruskan
perjalanan ke arah selatan. Kami melintasi bagian tengah lahan
pertanian yang panas untuk mempersingkat jarak. Di ujung selatan tanah
pertanian, di seberang pematang lahan, kami mendapati tiga makam kuno.
Nisannya sama. Terbuat dari batu padas. Tak ada penanda di setiap nisan.

Penanda justru ada di sebongkah batu di sampingnya. Ada sepotonmg
keramik kecil bertuliskan tiga nama yang diyakini merupakan nama
orang-orang yang dimakamkan di bawah tiga nisan itu. Nama itu adalah
Panembahan Lengkara, Sutejo dan Sutemong. Ketiganya diyakini bangsawan
yang melarikan diri. Karena itu, makam yang tidak membujur ke utara
tapi ke timur laut itu dianggap bertuah sehingga kerap digunakan untuk
tirakat.

Dari makam misterius itu, kami kembali ke telaga di mana kami
memakirkan mobil. Perjalanan kami lanjutkan ke beberapa petilasan dan
gua yang berada di Paranggupito.



Gelaran di Dusun Sambi, Desa Ketos, adalah petilasan pertama yang kami
datangi usai mengunjungi makam kandangan. Gelaran merupakan hamparan
tanah pertanian nan luas. Di tengahnya terdapat cungkup (rumah kecil
pelindung nisan). Di bawah cungkup itu diyakini dimakamkan seorang
tokoh yang dikenal dengan nama Ki Jebug.

Dia adalah murid Ki Curocono yang dimakamkan tak jauh di sebelah
utaranya. Konon, Ki Jebug yang maha sakti hingga bisa membuat pohon
kelapa menunduk itu tewas karena bertikai dengan Ki Curocono yang
sama-sama sakti. Selama ini, Ki Curocono adalah tokoh yang diyakini
teramat sakti dan berjasa untuk Paranggupito.

Karena itu, di petilasannya dulu kerap digelar ritual Udan Dhawet.
Ritual itu merupakan upacara kuno asli Paranggupito untuk memanggil
hujan. Biasanya dilakukan saat musim kemarau benar-benar menggila di
wilayah itu. Dari makam itu, kami kemudian menuju ke hamparan tanah
pertanian luas lain yang berada di bagian barat makam ki Curocono.

Di tengah hamparan makam itu tumbuh serumpun pohon besar. Ada dua
makam di bawahnya. Makam itu disebut warga sebagai makam sepasang
pengantin yang diketahui menghilang dan kemudian ditemukan tinggal
tulang belulang di dasar pohon. Karena itu, pohon beserta makam
tersebut dikenal dengan nama Petilasan Mbah Manten.

Ada fenomena aneh yang diyakini berkaitan erat dengan spirit kesetiaan
pengantin yang meninggal bersama-sama di bawah pohon tersebut.
Fenomena itu adalah daun kering dari ranting pohon yang tak pernah
pergi jauh dari pangkalnya. Keberadaan daun yang tetap “setia” itu
dapat dilihat dengan jelas karena menumpuk seperti pola mengeliling
pangkal tiga pohon yang tumbuh menyatu di petilasan tersebut.

Dari Petilan Mbah Manten, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju
ke Makam Kanigoro yang berada di sudut lain Dusun Sambi. Makam itu
berada di bawah pohon Kaliander dan Kedoya yang tumbuh di samping
Pasar Pahing di dusun itu. Dulu, makam itu dikenal sebagai makam Mbah
Tondho, seorang pengelana sakti yang tak diketahui asa-usulnya. Mbah
Tondho disebut sebagai sosok berjasa yang membuka hutan belantara di
Ketos untuk dijadikan pemukiman.

Belakangan, sekelompok pegiat spritual dari Semarang meyakini Mbah
Tondho tak lain adalah Ki Ageng Kebo Kanigoro, saudara kandung Ki
Ageng Kebo Kenongo. Kebo Kanigoro memutuskan menyingkir ke daerah
terpencil tersebut untuk menghindari pengejaran pasukan Kasultanan
Demak. Hal itu dikarenakan Kebo Kanigoro merupakan murid langsung
Syech Siti Jenar yang dianggap mengajarkan ajaran sesat.

Dari makam Kanigoro, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah gua yang
baru dibuka di Dusun Ketos, Desa Ketos. Gua itu berada tak jauh dari
perkampungan. Hanya berada di atas tebing yang berada di belakang
pemukiman warga. Gua itu dinamakan Gua Slamet karena lubang baru yang
saat ini tengah dilebarkan itu ditemukan oleh Slamet, warga setempat.

Seperti kebanyakan gua, banyak stalagtit dan stalagmit indah di gua
tersebut. Sampai saat kami datang, proses penggalian masih berjalan.
Warga masih berupaya menyingkirkan bongkahan batu besar di tengah
lorong menuju bagian gua yang lebih dalam. Warga berjanji akan berupa
membuka gua itu sampai ujung dengan harapan akan menjadi salah satu
destinasi wisata baru.

Kami meninggalkan Gua Slamer saat matahari sudah bergulir ke ufuk
barat. Pak Ripto kemudian meminta saya menginjak gas lebih dalam agar
waktu yang tersisa cukup untuk mendatangi Gua Suci dan Luweng Sulingan
di Dusun Plawon, Desa Gunturharjo. Di tengah perjalanan, kami berhenti
untuk mengisi perut di warung ala kadarnya di tepi jalan.

Di Dusun Plawon, kami meminta bantuan kepala dusun setempat yakni Mbak
Kristiana untuk diantar ke Gua Suci di sisi timur dusun itu. Kami
lagi-lagi harus mengandalkan kaki untuk mencapai gua kecil yang juga
menjadi mata air utama warga tersebut. Gua di bawah pangkal pohon
beringin itu dinamakan Gua Suci karena diyakini menjadi tempat Raja
Brawijaya V/ Raja terakhir Majapahit untuk mensucikan diri sebelum
kembali dan akhirnya muksa di Gunung Lawu.

Setelah itu, kami diajak Kristina menuju ke Luweng Sulingan yang
berada di bagian lain Dusun Plawon. Luweng itu begitu dalam dan terjal
sehingga tak mungkin kami masuki yang datang tanpa sarana pendukung
panjat tebing. Akhirnya, kami harus puas dengan hanya melihat dan
memotret dari bagian luar luweng yang dalamnya diyakini hampir 100
meter itu.

Saat kami selesai di Luweng Sulingan, matahari sudah nyaris tenggelam.
Kami lantas kembali ke Kota Kecamatan Paranggupito untuk mandi dan
makan malam di rumah Pak Ripto. Makan malam kali itu merupakan yang
terakhir di rumah mantan Sekretaris Desa Paranggupito tersebut. Usai
makan malam, kami sempat foto bersama dan kemudian pamitan untuk
pindah tempat menginap di rumah Widhi Hartono, Kadus Gunturharjo.


team bersama keluarga Pak Ripto
Tak ada satu pun yang tak tak mengeluh lelah sesaat setelah
meninggalkan rumah Pak Ripto untuk menuju ke rumah Widhi Hartono di
Dusun/Desa Gunturharjo. Otot betis dan paha serta punggung sudah
benar-benar tak mau diajak berkompromi. Semuanya terasa begitu
>njarem<. Tapi, pekerjaan malam itu belum selesai. Masih ada beberapa
kewajiban yang memang hanya bisa dilakukan malam itu.

Karena itu, kami tak lama berada di rumah Widhi Hartono. Kami hanya
meninggalkan satu mobil berikut perlengkapan logistik di halaman rumah
yang malam itu akan menjadi tempat kami bermalam. Selanjutnya, kami
pamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Pantai Nampu di ujung selatan
Dusun Dringo, Desa Gunturharjo itu.

Kami sempat menjemput Pak Rakino, Kadus Guntur untuk menemani kami di
Pantai Nampu. Tapi, kami kurang beruntung. Pak Rakino malam itu sedang
tak enak badan. Bahkan, saat kami datang menjemput, dia baru saja
dikeroki istrinya. "Waduh, saya sedang nggak enak badan ini Mas. Gini
aja, biar ditemani >lare< (anak muda) sini saja," kata Pak Rakino
lantas memanggil seorang remaja yang tengah bermain gitar di simpang
empat dusun dan memintanya menemani kami.

Kami pun kemudian berangkat ke Pantai Nampu. Kami sempat mengambil
seikat kayu bakar dan beberapa pelepah daun kelapa kering yang sudah
kami siapkan sebelumnya untuk di bawa ke pantai. Kami ingin membuat
api unggun di pasir pantai. Harapannya, kami bisa mendapatkan foto
dramatis dengan dukungan cahaya api unggun dan bulan yang membias di
gelombang laut.

Kami memang berhasil menciptakan api unggun di pasir pantai. Cahanya
cukup menerangi pantai yang semula gelap gulita. Kondisi makin terang
karena rembulan juga sudah mulai terlihat di ufuk timur. Tapi,
langitnya tak bersih. Ada awan hitam yang mengambang dan menghalangi
cahaya bulan. Celakanya lagi, bulan membuat laut pasang. Lambat laun,
ombak semakin tinggi dan makin jauh menjangkau pasir pantai.

Bahkan, sebelum kami menemukan momen baik untuk mengambil foto dan
video, gelombang sudah nyaris menyentuh api unggun. Meski beberapa
menolak, saya memutuskan untuk segera meninggalkan pantai. Saya tidak
mau ada hal buruk yang menimpa karena ombak benar-benar sudah tinggi.
"Ok. Ini keputusannya. Kita tinggalkan pantai saat ini juga. Tidak ada
tawar menawar. Ini sudah terlalu berbahaya," kata saya langsung
mengajak semua anggota tim bergerak dari pantai menuju tebing gunung.
sebelum dikejar gelombang pasang di Pantai Nampu

Raut muka Arif, fotographer kami, terlihat kecewa. Bahkan, sambil
berjalan mendaki tebing, dia berkelakar jika malam itu saya berubah
menjadi tidak ekstrim. Menurut dia, kami harus menunggu beberapa saat
lagi untuk menunggu bulan tinggi. Tapi, saya tetap di memutuskan bahwa
keselamatan adalah hal utama.

Kami kemudian sampai di tikungan jalan setapak berlapis cor yang
merupakan jalan naik turun dari pelataran parkir ke pasir pantai. Ada
warung di dekatnya. Akhirnya, kami sepakat untuk menjadikan halaman
sempit di depan warung yang menghadap jurang itu sebagai titik
pengambilan foto hamparan pasir Pantai Nampu. Sebab, dari halaman
warung itu, cahaya merah api unggun kami masih terlihat. Kami juga
bisa melihat bulan yang merangkak naik. Tentunya, dari halaman itu,
juga terlihat jelas hamparan pasir dan air laut yang memendarkan
cahaya bulan.

Cukup lama kami di warung itu. Sementara Arif dan Aji serta saya
berupaya merekam keindahan malam di Nampu, Bintoro memilih memainkan
gitar pinjaman dari remaja yang menami kami. Sedangkan Sutris dan Rima
bernyanyi mengiringi petikan gitar di tangan Bintoro. Konser darurat
itu berlangsung lama dan diselingi canda tawa.

Banyak lagu yang dimainkan. Mulai dari >Layang Kangen<, >Sewu Kutha<,
>Suci Dalam Debu< hingga >Isabella<. Tapi, jangan bayangkan lagu-lagu
itu dimainkan sempurna. Baik dari lirik maupun nadanya. Bahkan, banyak
yang hanya reffnya saja. Ada pula yang hanya bait pertama saja. "Ganti
lagu wae. Aku suara satu, Rima suara dua. Sutris suara sumbang," kata
Bintoro lantas ngakak diikuti lainnya. Termasuk Sutris yang ngakak
sambil garuk-garuk kepala.

Setelah mendapat komando dari Arif bahwa dia sudah mendapatkan yang
dicari, kami kemudian bergegas meninggalkan pantai yang sepi itu. Saat
itu, waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Setelah meninggalkan remaja
pengantar kami di simpang empat dusun, kami langsung menuju rumah
Widhi Hartono. Ketika itu, stamina kami benar-benar sudah terkuras
habis.

Di rumah Kadus Guntur itu, kami langsung membongkar logistic. Kami
siapkan field bed di teras rumah. Kami sengaja ingin tidur di luar
rumah untuk merasakan sensasi pedesaan khas Paranggupito. Sementara,
Rima memilih tidur di salah satu kamar yang disiapkan si empunya
rumah. Tak lama setelah kami menata field bed, Idun, tetangga desa
saya di Baturetno yang menikahi gadis asal Paranggupito datang menemui
saya. Dari dia pula, saya akhirnya bisa mendapatkan seorang tukan urut
untuk melemaskan otot saya.

Semua anggota tim juga menginginkan layanan serupa. Tapi, hanya ada
satu tukang urut. Akhirnya, hanya saya yang malam itu mengerang dan
menggelinjang menahan sakit karena urutan si tukang urut. "Waduh, apa
sampeyan habis macul mas kok otote kenceng semua. Ini kalau saya
ngurutnya keras sedikit, pasti sampean menjerit," kata tukang urut
yang kemudian benar-benar membuktikan ucapannya hingga saya menjerit
menahan sakit.

Setelah lebih dari satu jam, akhirnya layanan urut itu usai. Saya pun
menyusul tidur. Keesokan harinya, usai sarapan dengan menu khas
ditambah bebek goreng sajian nyonya Widhi Hartono, kami melanjutkan
petualangan. Hari itu, kami memilih lagi jalur garis pantai. Yakni
dari Pantai Nampu ke arah barat.

Matahari belum terlalu tinggi ketika kami bergerak meninggalkan rumah
Widhi Hartono. Kali ini, kami memulai perjalanan dari timur ke barat.
Pantai Nampu yang merupakan batas antara Jawa Tengah dan Jawa Timur
menjadi titik awal perjalanan kami pagi itu. Selain Pak Ripto dan Mas
Danang, hari itu kami juga ditemani Pak Rakino, Kepala Dusun Dringo,
Desa Gunturharjo, yang malam sebelumnya kurang sehat.

Tak lama kami berada di Pantai Nampu. Karena kami sudah punya cukup
data mengenai pantai paling terkenal di Wonogiri itu. Kami hanya
melengkapi foto landscape hamparan pasir putih nan panjang di pantai
itu saja. Kemudian, kami beringsut ke teluk di sebelah barat gunung di
ujung barat pantai itu. Ada teluk kecil berpasir putih di sana. Orang
mengenali pantai itu dengan nama Pringjono.

Dari atas tebing, pantai kecil di antara dua bukti itu terlihat cukup
menarik. Pasirnya putih seperti pasir di Pantai Nampu. Ombaknya juga
tak terlalu tinggi sehingga terlihat lebih aman untuk dijadikan tempat
bermain pasir dan air. Di sebelah utara yang juga merupakan tebing,
terlihat sebuah goresan  besar berwarna putih. “Itu adalah aliran air
terjun. Kalau kemarau gini kering. Kalau musim hujan, ada airnya,”
kata Pak Rakino.

Sementara, di antara bukit-bukit itu juga terlihat guratan memanjang
di antara rerumputan kering. Guratan memanjang itu adalah jalan
setapak yang biasa dilalui warga untuk menjangkau pantai-pantai di
sekitarnya guna mencari udang, usal/siput laut, atau rumput laut.
Sayangnya, hanya ada satu jalan untuk menjangkau pasir di Pringjono.
Yakni dengan menuruni lereng curam di sisi barat bukti yang membatasi
pantai itu dengan Pantai Nampu.

Perjalanan pun kemudian kami lanjutkan ke sisi barat. Pantai Waru
adalah tujuan berikutnya. Perlu beberapa puluh menit berjalan mendaki
lerengn bukit untuk mencapai pantai yang pernah digadang-gadang untuk
pelabuhan pendaratan ikat itu. Sayangnya, saat kami tiba di Pantai
Waru, ombak masih sangat tinggi hingga ujungnya mencapai dasar bukit.

Imbasnya, kami tak bisa mengabadikan keindahan hamparan pasir putih di
antara bongkahan karang di pantai itu. Keindahan itu tertutup air laut
yang masih pasang. Yang terlihat hanya kerikil-kerikil mengkilat di
dasar tebing gunung yang basah karena terpercik ombak laut. Pak Rakino
kemudian mengajak kami ke Gua Panengan yang berada di tebing bagian
timur pantai itu.

Gua itu merupakan sebuah ceruk di tebing yang menghadap ke Pantai
Waru. Gua tersebut juga dikenal dengan nama Gua Jepang karena sering
digunakan tentara Negeri Matahari terbit itu sebagai tempat
beristirahat. Pada masa penjajahan dulu, Paranggupito juga tak luput
dari pendudukan Jepang.

Malah, jalan utama di Kecamatan Paranggupito merupakan salah satu
tinggalan tentara Jepang. Jalan itu dibangun oleh Rhomusa (kerja
paksa). Nah, di sela-sela pengawasan kerja paksa itu, tentara Jepang
menjadikan Gua Panengen sebagai tempat istirahat. Selain nyaman, gua
itu juga tak jauh dari mata air tawar yang bisa digunakan untuk
mencukupi kebutuhan. Namanya juga mata air Waru. Mata air itu cukup
besar hingga di musim kemarau seperti saat ini, limpahan airnya masih
cukup deras mengalir ke pantai.

Ada keindahan yang layak dinikmati di gua itu. Yakni stalagtit yang
menempel di dinding gua. Sayangnya, ada bagian dinding yang runtuh
sehingga gua itu tak terlalu dalam. Diyakini, jika runtuhan itu
disingkirkan, gua akan lebih dalam. Sayangnya, sampai saat ini belum
ada upaya menyingkirkan runtuhan itu untuk menjawab penasaran mengenai
seberapa dalam gua itu.

Dari Gua Panengan dan Pantai Waru, kami melanjutkan perjalanan
menyusuri jalan setapak di antara tonjolan batuan kapur di lereng
gunung di sebelah barat pantai itu. Pak Rakino membawa kami ke sebuah
pantai yang sama sekali tak terlihat dari atas tebing. Pantai itu
tersembunyi di bawah tebing batu vertikal yang tinggi serta
rumpun-rumpun pandan laut yang rimbun.

Warga menamai pantai yang hanya bisa dijangkau dengan jalan setapak
menuruni lereng curam itu dengan nama Karangpayung. Jalan setapak itu
terbilang ekstrim. Yakni hanya berupa permukaan tonjolan batu di
tebing. Parahnya lagi, permukaan batu untuk pijakan kaki itu selalu
basah oleh air laut yang terbawa angin. Sedikit aman karena ada batang
pandan laut yang bisa dijadikan pegangan.

Apa yang disampaikan Widhi Hartono, Kadus Gunturharjo, dan Pak Rakino,
Kadus Dringo, mengenai keindahan Pantai Karangpayung terbukti benar.
Pantai yang tersembunyi itu jauh lebih indah dibanding pantai-pantai
lainnya. Ada hamparan pasir putih yang panjang. Ada tonjolan-tonjolan
karang berukir yang di antara hamparan pasir putih itu.

Yang istimewa adalah adanya ceruk di dasar tebing vertikal di bagian
barat pantai itu. Ceruk yang bisa menampung puluhan orang itu bisa
menjadi tempat berteduh dari sengatan matahari. Terlebih lagi, tebing
vertikal di atasnya juga teramat tinggi hingga bisa menyembunyikan
pantai itu dari paparan sinar matahari.

Cukup lama kami di pantai itu. Kami benar-benar menjadikan Pantai
Karangpayung sebagai tempat piknik di antara pekerjaan kami. Setelah
puas menikmati Karangpayung yang masih perawan itu, kami kemudian naik
lagi ke atas tebing. Kami melanjutkan perjalanan ke arah barat.
Menujuke Karangpayung.

Ini juga merupakan bagian dari garis pantai. Tapi, tak ada hamparan
pasir putih. Yang ada adalah sebuah tebing vertikal yang bagian
bawahnya langsung menyambung ke pantai. Tebing itu terus dihantam
gelombang hingga menciptakan buih putih. Selama ini, Karangbang adalah
sebuah tempat pemancingan terkenal di Paranggupito.


padang ilalang karangbang



Ada yang indah sebelum Karangbang tergapai. Yakni sebuah hamparan
tanah kosong yang ditumbuhi ilalang setinggi lutut. Dari hamparan
ilalang yang di sisi barat-utara dan timur dibatasi barisan pohon
kelapa itu, kami melihat hamparan laut yang biru. Sedang di bagian
barat, terlihat gelombang yang pecah menghantam pantai berbatu.

Dari Karangbang, kami kemudian kembali ke Pantai Waru di mana Mas
Danang dan kendaraan pengangkut menunggu. Setelah itu, kami menuju ke
Desa Gudang Harjo untuk menyinggahi satu-satunya pantai yang layak
dikunjungi di Desa itu yakni Pantai Kalimirah.

Dari Pantai Waru, Mas Danang langsung mengarahkan mobil yang kami
tumpangi ke pesisir Desa Gudangharjo. Pantai Kalimirah adalah
satu-satunya tujuan kami siang itu. Kami menyusuri jalan desa yang
hampir seluruhnya berlapis cor beton. Kadang kami melintasi
perkampungan yang didominasi rumah-rumah limasan khas Jawa Tengah yang
sederhana. Kadang kami melintasi hamparan tanah pertanian kering yang
luas. Sesekali pula, kami melintas di antara lembah perbukitan kapur
yang juga terlihat kering. Sedikit pohon di lerengnya terlihat
meranggas tanpa daun.

Perjalanan kami menggunakan kendaraan berakhir di sebuah ruas jalan
yang menanjak. Lapisan cor beton di tanjakan tinggi itu masih terlihat
baru sehingga kendaraan belum diizinkan melindasnya. Jalan yang
disebelahnya terbentang jurang dalam itu merupakan satu-satunya jalan
menuju Pantai Kalimirah. "Kita jalan kaki dari sini. Nggak jauh,
pantainya di balik bukit itu," kata Mas Danang.

Kami kemudian berjalan kaki menaiki jalan menanjak berlapis beton baru
itu. Di bagian atas, jalan itu menikung. Nah, di ruas jalan yang
terlindung bukit ternyata ada belasan pekerja yang tengah meneruskan
pembangunan jalan. Kami sempat beristirahat sejenak sambil
bercengkerama dengan pekerja-pekerja tersebut.

Setelah itu kami meneruskan perjalanan. Ternyata, Mas Danang hanya
bercanda ketika mengatakan Pantai Kalimirah ada di balik bukit. Sebab,
pantai itu ternyata masih berada di balik beberapa bukit. Jaraknya
lebih dari 1 kilometer dari tempat kami bertemu para pekerja
pembangunan jalan. Jalan menuju pantai itu masih berupa jalan tanah
berbatu terjal dan menurun. Bahkan, beberapa meter menjelang pantai,
kami harus merangkak turun.

Pantai Kalimirah di depan kami bukan merupakan pantai indah. Hanya ada
sedikit pasir putih yang terhampar di antara batuan karang tajam. Ada
pula hamparan batuan berwarna kemerahan. Batuan merah itu pula yang
membuat pantai itu dinamakan Kalimirah. "Pantai ini beberapa kali
ditinjau dari pemerintah pusat. Ada rencana untuk menjadikan pantai
ini sebagai lokasi pembangunan pelabuhan niaga internasional. Itu
merupakan bagian dari program pengembangan wilayah Jawa bagian
selatan," kata Danang.

Dia kemudian menambah cerita bahwa terkait dengan rencana itu,
pemerintah desa dan kecamatan juga berupaya membangunan sarana
pendukung. Salah satunya adalah pembangunan jalan yang nanti akan
bersambung dengan jalan antar pantai yang sudah menghubungkan pesisir
Paranggupito bagian barat (Pantai Dhadapan hingga Sembukan) dan Bagian
timur Paranggupito (Pantai Nampu-Pantai Pringjono).

Setelah mengumpulkan data dan gambar, kami kemudian meninggalkan
Pantai Kalimirah. Kami melewati jalan yang sebelumnya kami lewati.
Bedanya, kali ini kami harus menanjak hingga stamina benar-benar
terkuras. Kemudian, kami meninggalkan Desa Gudangharjo untuk menuju ke
Desa Gendayakan untuk mengunjungi Luweng Borampuh. Mulut sungai bawah
tanah itu sangat dikeramatkan warga hingga hanya untuk mendekatinya
saja, warga enggan.

Sama seperti kebanyakan wilayah di Paranggupito di awal musim kemarau
ini, bukit kapur tandus, ladang kosong tanpa tanaman serta semak
mengering juga kami temui di sepanjang perjalanan menuju Gendayakan.
Beruntung perjalanan ini kami mulai ketika matahari mulai tergelincir
ke ufuk barat, hingga panasnya tidak lagi terasa menyengat. Luweng itu
berada di tepi ladang pertanian. Mudah dijangkau meski harus berjalan
kaki sekitar satu kilometer dari titik kami parkir.

Selama perjalanan itu, Heri Sutopo, Kades Gendayakan yang mengantarkan
bercerita tentang Luweng Borampuh yang dikeramatkan itu. Keramatnya
luweng di tepi timur hamparan lahan pertanian itu terkait dengan
mitos/legenda >manusia terbang/melayang< yang diyakini pernah hidup di
desa itu.

Manusia sakti yang bisa melompat tinggi dan jauh hingga terlihat
seperti terbang itu semula dikenal sebagai petani rajin bernama Mbah
Glemboh. Suatu hari, terungkap bahwa Mbah Glemboh ternyata raksasa
bertampang buruk itu. Warga sepakat untuk menangkap Mbah Glemboh.

Mbah Glemboh tak mau melawan karena khawatir akan melukai warga desa.
Tapi, dia juga tak mau menyerah. Dia pilih berupaya menghindar dengan
cara melompat/terbang dari satu pohon ke pohon lain dan dari satu
dusun ke dusun lain. Akhirnya, dia jatuh di dekat luweng di Hutan
Larangan yang angker. Saat itu, dia berubah wujud menjadi batu yang
menyerupai manusia.

Warga kemudian melemparkan batu jelmaan Mbah Glemboh itu ke luweng
tersebut. Tapi, batu itu tersangkut di bagian tengah luweng. Yakin
Mbah Glemboh sudah mati, warga meninggalkan luweng itu. Untuk
mengenangnya, luweng itu dinamakan Borampuh, yang berasal dari kata
>bor< (mabor/terbang)  dan ampuh (sakti).

Usai menyambangi Luweng Borampuh, tim kembali ke titik terakhir dimana
mobil rombongan terparkir. Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke
ladang Cabe Jamu. Ini adalah tanaman sejenis rempah yang dikembangkan
warga setempat. Harganya cukup stabil hingga dapat diandalkan untuk
mencukupi kebutuhan hidup warga. Berbeda dengan komoditas pertanian
lain, cabe jamu ini ditanam di antara batuan kapur di lahan pertanian.

Batuan itu sekaligus menjadi >rambatan< tanaman yang batang dan
daunnya mirip sirih tersebut. Ladang cabai jamu itu menjadi tujuan
akhir petualangan kami di Paranggupito. Saya kemudian memutuskan untuk
mengakhiri perjalanan itu karena stamina kami benar-benar sudah sampai
pada  titik terendah. Saya kemudian mengajak pulang untuk bertemu
keluarga. Terlebih lagi, saat itu, Bintoro berulangtahun hingga
kehadirannya di rumah sangat diharapkan istri dan anak-anaknya...

Di Balik Penyusunan Buku Foto Eksotika Tepi Benua (1)



Di Balik Penyusunan Buku Foto Eksotika Tepi Benua (1)


Akhir Agustus hingga awal September 2015 lalu, tim gabungan Jawa Pos Radar
Solo dan Bagian Humas Setda Wonogiri melakoni ekspedisi susur Pantai
Selatan. Kami berupaya merekam semua potensi yang mungkin bisa
dikembangkan di wilayah Wonogiri selatan itu dalam sebuah buku foto
dan video.

======================================================================
 
Disambut Terjal, Kering dan Gersangnya Alam



Matahari tepat berada di atas kepala ketika kendaraan yang kami
tumpangi memasuki halaman Kantor Kecamatan Paranggupito, (31/8). Kami
sengaja mampir untuk >kulonuwun< sekaligus menjemput >guide< yang
disiapkan untuk memandu perjalanan kami. Ada dua pemandu yang
disiapkan Camat Paranggupito, Haryanto, untuk kami. Mereka adalah
Danang Indarto dan Ripto Dwi Hartono.

Tak lama kami berada di kantor itu. Danang yang mengambil alih kemudi
mobil kemudian mengantarkan kami menuju Dusun Klampeyan, Desa
Paranggupito. Dusun itu merupakan wilayah paling tepi di Desa
Paranggupito. Jaraknya sekitar lima kilometer dari kantor Kecamatan
Paranggupito.

Gersang, kering dan panas adalah hal yang kami temui di sepanjang
perjalanan melintasi jalan beraspal dan cor beton itu. Pohon-pohon
jati meranggas menjadi “penghias” bukit-bukit batu di sisi kiri dan
kanan jalan. Tanah-tanah pertanian di antara bukit-bukit itu juga
terlihat kering. Bahkan, terlihat jelas angin menerbankan lapisan debu
di atas tanah merah merekah itu.

  Di ujung jalan berlapis cor beton, perjalanan menggunakan mobil
kami berakhir. Kami kemudian meneruskan perjalanan dengan berjalan
kaki. >Jumblang Ilat-Ilat<, sebuah >luweng< di antara tanah pertanian
berbatu di tepi dusun itu adalah tujuan pertama kami. jalan menuju
luweng yang jaraknya sekitar dua kilometer dari ujung jalan desa itu.

Jalannya berupa jalan setapak naik turun di antara runcingnya batuan
kapur perbukitan. Sesekali, untuk mempersingkat jarak, kami sengaja
mencari jalan pintas dengan melintasi bagian tengah lahan pertanian
yang kering dan tak tergarap. Sesekali pula kami berhenti di bawah
bayangan pohon kelapa untuk mengurangi suhu panas yang mulai melanda
badan.

Setelah beberapa saat, kami sampai di sebuah hamparan tanah pertanian
di sisi timur sebuah bukti batu kecil. Ada bagian cekung di dasar
bukit batu itu. Dari jauh, kami melihat bagian itu ditumbuhi beragam
jenis pepohonan. Termasuk serumpun bambu duri. “Itu adalah mulut
luweng Jumblang Ilat-Ilat,” kata Pak Ripto sambil melihat kami yang
sedikit terengah-engah dan bermandi keringat.

Mantan Sekretaris Desa Paranggupito itu kemudian mengajak kami
menuruni lahanan pertanian tersebut untuk menjangkau mulut luweng.
Lagi-lagi, kami menemui jalan setapak di antara runcingnya batuan
kapur. Semakin dekat ke mulut luweng, jalan semakin ekstrim.

Akhirnya, kami sampai di bibir mulut luweng yang mengangga di sisi
selatan tebing. Ada sebatang pohon besar yang tumbuh dari dasar luweng
hingga daunnya jauh muncul ke permukaan. Tak diketahui secara pasti
jenis pohon liar itu. Yang jelas, pohon itulah yang digunakan dasar
untuk menamai luweng itu dengan nama Jumblang Ilat-Ilat. Keberadaan
pohon di tengah lubang itu menyerupai lidah (Jawa: ilat) di tengah
mulut yang menganga.

Tak ada jalan untuk masuk ke luweng berdiameter sekitar 30 meter yang
bagian tepinya ditumbuhi semak belukar rapat dan beberapa jenis pohon
itu. Pak Ripto pun kemudian berinisiatif membuka jalan ala akadarnya
untuk menjangkau sedekat mungkin dengan bagian dalam luweng yang
atapnya dihiasi ratusan stalagtit itu.

Saking sulitnya, Pak Ripto sampai harus merangkak layaknya cicak untuk
turun ke bagian dalam mulut luweng. Dia berhasil. Kemudian, Arif
Budiman (juru foto Jawa Pos Radar Solo) dan Purna Aji (pehobi
fotografi yang kami ajak berpetualang) memutuskan untuk ikut “uji
nyali” Pak Ripto. Keduanya merangkak turun untuk mendapatkan foto
luweng itu dari sudut terdekat.

Saya, Bintoro, Sutris, dan Rima (ketiganya staf di Bagian Humas Setda
Wonogiri) memilih berupaya merekam luweng dari bagian atas barat
tebing. Tapi, tetap saja tak ada tempat terbaik untuk bisa
mengabadikan luweng itu dari sisi atas. “Dijupuk sakkenekke wae. Wong
angel (diambil sekenannya aja karena sulit),” kata Bintoro dari atas
tonjolan batu di bagian barat luweng lantas terkekeh.

Setelah itu, sambil menunggu Arif, Aji, dan Pak Ripto kembali ke atas,
kami lebih menghabiskan waktu untuk mereview jadwal perjalanan sambil
berteduh di bawah pohon kelapa. Beruntung, dua perempuan petani
kemudian melintas. Mereka menyapa kami ramah. Bahkan, mereka kemudian
menawarkan sesuatu yang sangat sulit untuk kami tolak di tengah
sengatan panas matahari.

Keduanya menawarkan >degan< (kelapa muda) di pohon kelapa rendah yang
tumbuh di tengah lahan pertanian kepada kami untuk pelepas dahaga.
Lalu, dengan galah bambu, saya berupaya memetik beberapa degan.
Sebagian langsung kami nikmati dan sebagian kami siapkan untuk Arif,
Aji dan Pak Ripto yang berada di bagian lebih dalam mulut luweng.

Melalui pesawat radio komunikasi (HT), kami mendapat kabar dari Pak
Ripto jika mereka sudah bergerak ke permukaan lagi. Kami kemudian
bergeser kembali ke mulut luweng. Benar saja, mereka tiba di bagian
bibir luweng tak lama setelah kami juga tiba di sana. “Capek. Tapi
obyek fotonya bagus. Menghibur dan jalannya menegangkan. Uji nyali,
pol. Kalau bisa motret dari dalam pasti lebih bagus. Tapi, tidak ada
jalan masuknya,” kata Arif usai menenggak air kelapa muda yang saya
sodorkan.

Dia kemudian memamerkan frame demi frame foto yang ia abadikan di
mulut Jumblang Ilat-Ilat. Pak Ripto juga menambahkan cerita bahwa di
bagian dasar luweng ada bagian tanah lapang yang sempat hendak
digunakan untuk menggelar upacara bendera. Tapi, acara itu urung
terlaksana karena sulitnya akses untuk masuk ke dasar luweng. “Di
bagian bawah juga ada rongga yang belum dimasuki,” katanya.

Setelah keringat kering, kami kemudian melanjutkan perjalanan. Semula,
kami minta langsung disambungkan ke pantai dengan cara mendaki
pegunungan. Tapi, Pak Ripto mengatakan itu tidak memungkinkan. Akan
menghabiskan banyak waktu untuk melintasi gunung di sisi selatan
luweng. Akhirnya, kami dibawa kembali melintasi jalan yang sebelumnya
kami lewati untuk menuju luweng.

Akhirnya, kami tiba kembali ke ujung jalan desa. Ternyata, Pak Ripto
dan Danang sebelumnya sudah sepakat untuk saling menunggu. Setelah
itu, kami kembali diantar menggunakan mobil ke bagian desa yang lebih
selatan. Kali ini, jalannya bukan berupa cor beton. Tapi, hanya berupa
jalan berlapis batu kapur terjal. Danang kemudian menghentikan
mobilnya di simpang tiga.

“Kita turun di sini. Kita berjalan kaki ke Pantai Dhadapan. Ini
pantai di bagian perbatasan Jateng-Jogjakarta. Setelah itu, dari
Dhadapan kita akan berjalan kaki menyusuri pantai ke arah timur.
Semoga sebelum Maghrib kita bisa sampai di Pantai Sembukan,” kata Pak
Ripto lantas meminta Danang untuk kembali ke kantor Kecamatan
Paranggupito....


aku Ari Budiman (pegang kamera) dan Pak Ripto di Pantai Dhadapan



Pantai Dhadapan adalah di mana tonggak tapal batas Jawa Tengah-Daerah
Istimewa Jogjakarta terpasang. Di pantai berpasir putih yang masih ada
di Dusun Klampeyan, Desa/Kecamatan Paranggupito ini pula perjalanan
kaki menyusuri pantai selatan Wonogiri di mulai. Bagaimana kisahnya?

Waktu yang sangat terbatas membuat kami bergegas usai turun dari mobil
yang dikemudikan Danang. Jalan selebar empat meter yang kami lintasi
itu adalah jalan baru. Bahkan masih sangat terlihat baru karena
bongkahan-bongkahan batu yang tertata masih berwarna putih bersih.
Belum ada lumut yang melapisinya.

“Ini adalah jalan baru yang sengaja dibuat untuk menuju ke Pantai
Dhadapan. Kami memang punya program untuk membuat jalan penghubung
antar pantai. Yang di bagian paling barat ya jalan ini. Tapi, dari
simpang tiga ini ke Pantai Dhadapan belum panjang. Kalau dari simpang
tiga ini ke timur sudah sampai di Sembukan,” terang Pak Ripto sambil
berjalan.

Benar saja. Jalan baru menuju Pantai Dhadapan itu memang belum
panjang. Hanya sekitar 200 meter saja. Jalan itu berakhir setelah
melintasi tanjakan yang tak seberapa tinggi. Setelah itu, untuk menuju
ke Pantai Dhadapan hanya ada jalan setapak di tebing gunung. Perlu
kehati-hatian untuk melintasi jalan setapak yang tersembunyi di antara
semak belukar dan rumpung ilalang kering itu.

Saat kaki mulai menapak jalan setapak di antara tonjolan batu di
lereng selatan bukit kapur itu, aroma pantai mulai tercium. Ciri khas
pantai yang mulai terasa itu adalah angin yang berhembus kencang dari
arah selatan. Ada aroma laut yang khas. Tak lama kemudian, debur ombak
mulai terdengar. Pucuk-pucuk pandan laut pun mulai terlihat.

Jalan setapak menurun yang kami lewati itu berujung di bagian dasar
bukit kapur. Ujung jalan itu berupa simpang tiga jalan setapa yang
berada di bibir jurang sebelah timur sebuah pantai yang disebut
Dhadapan. Pandan laut tinggi yang sejak awal terlihat itu menjadi
pembatas dasar bukit dengan tebing laut.

“Untuk ke pantainya, kita ikuti jalan ini. Ini satu-satunya jalan ke
pantai,” kata Pak Ripto sambil menunjuk arah barat di simpang tiga
jalan setapak di dasar bukit yang juga merupakan tepian jurang/tebing
pantai. Kami kembali jalan yang kemudian berbelok ke bawah rumpun
pandan. Jalan itu kemudian mneyambung ke bongkahan karang.

Dari bongkahan karang itu, kami harus ekstra hati-hati lagi. Sebab,
selain menurun, jalan setapak tersebut juga licin karena basah air
laut yang terbawa angin. Sementara, di bagian bawah bongkahan karang,
terhampar putihya pasir pantai. Di bagian barat yang lebih dekat laut,
karang tampak begitu kukuh meski tak henti dihajar gelombang.

Ada banyak perempuan paro baya dan beberapa anak-anak terlihat
beraktivitas di hamparan batuan yang berada antara laut lepas dan
pasir pantai. Sesekali, mereka menghindari air laut yang menyapu
batuan datar itu. Pak Ripto menerangkan, mereka tengah memburu
usal/siput laut, hewan kecil dan >karangan< (salah satu jenis rumput
laut).

Bukan untuk dijual. Tapi untuk dikonsumsi sebagai lauk pauk. Di bagian
lain pantai, juga ada beberapa pria yang tampak begitu dekat dengan
laut. Mereka terlihat begitu akrab dengan gelombang berbuih putih itu.
Meski demikian, pria yang kemudian kami ketahui sedang memburu lobster
itu tetap berlari menepi manakala ombak terlalu tinggi. Tapi, ada pula
hanya memilih bersumbunyi di balik bongkahan karang.

Sejenak kami melepas lelah di hamparan pasir pantai. Kami memilih
bagian pantai yang teduh di sisi barat. Tapi, Pak Ripto mengingatkan
agar kami tak terlalu lama karena jalan masih panjang.  Kami pun tak
mau terlalu larut dalam keindahan pesisir nan memukau. Kami langsung
bekerja sesuai tugas masing-masing untuk merekam semua potensi dan
kisah tentang pantai itu.

Sekitar sejam kemudian, kami sepakat untuk meninggalkan pantai itu.
Kami kembali harus melewati jalan di mana kami datang ke pantai. Kali
ini tak menurun. Tapi mendaki. Dan di simpang tiga jalan setapak di
dasar bukit, Pak Ripto mengajak kami berbelok kanan. Atau tidak lagi
kembali mendaki lereng tebing yang sebelumnya kami lewati.

“Kita lewat sini saja. Kita akan ke Pantai Njojogan. Tapi, ada yang
ingin saya tunjukkan nanti di tengah jalan. Yaitu bekas sentra
pembuatan garam tradisional. Mungkin menarik dan bisa menjadi penambah
cerita mengenai kehidupan di sini,” kata pria berperawakan kurus
tinggi itu sambil terus berjalan.

Di punggung bukit yang datar, Pak Ripto berhenti. Di lantas berjongkok
dan mengambil selembar pecahan gerabah. Dan ternyata, pecahan gerabah
itu tak hanya ada di mana Pak Ripto mengajak kami berhenti. Tapi,
puing itu ada di hampir seluruh bagian lereng bukti yang datar itu.
Tak hanya pecahan gentong tanah. Tapi ada pula sisa tunggu perapian di
tempat tersebut.

Dari Pak Ripto, kami akhirnya tahu bahwa pecahan gerabah tersebut
merupakan sisa “industri” garam tradisional di masa lampau. Menurut
dia, di tanah datar itu dulu ada sekelompok warga Paranggupito yang
menekuni pembuatan garam. Caraya sangat sederhana. Yakni dengan
mengambil air laut dari pantai. Kemudian merebusnya menggunakan
gentong dan tungku kayu hingga ada bagian air laut yang berubah
menjadi kristal garam.

“Tapi ini sudah sangat lama. Sudah tidak ada saksi hidup yang bisa
menuturkan pembuatan garam di pantai ini. Kami pun hanya tinggal
mendapat cerita dari nenek moyang mengenai industri garam tradisional
ini. Yang tersisa saat ini tinggal puing pembuatan gentong saja,” kata
Pak Ripto lantas mengajak kami meneruskan perjalanan ke arah tenggara
atau ke balik sebuah bukit karang di mana sebuah pantai berada. 

menuju pantai jojogan



Pantai itu adalah Pantai Njojogan. Saat itu, lelah mulai menyerang. Kaki mulai kemeng dan kesemutan. Jalan setapak naik turun gunung kapur membuat stamina kami cepat
habis. Jalan dari hamparan puing gerabah ke balik gunung kapur untuk
menjangkau Pantai Njojogan memang tak seberapa jauh. Bahkan tak sampai
satu kilometer. 

Tapi, karena permukaannya yang naik turun, lelah pun
cepat menyerang. Betis dan paha merupakan bagian dari tubuh yang
paling terasa lelahnya. Tak hanya saya, tapi semua mengeluhkan hal
yang sama. Hanya Pak Ripto saja yang masih terlihat bugar. Mungkin,
karena dia sudah terbiasa dengan medan ekstrim di Paranggupito.

“Kita nanti harus menuruni tebing ini untuk mencapai pantai. Mudah
kok. Tapi, kalau sekarang sudah lelah, istirahat dulu sebentar. Tapi
jangan lama-lama. Kita nanti sebelum Maghrib harus sampai di
Sembukan,” kata Pak Ripto lantas tersenyum sambil melihat kami yang
>megap-megap<.

 Setelah melepas dahaga dengan air mineral yang kami bawa, perjalanan
dilanjutkan. Kali ini, kami harus >tritipan< di jalan setapak di
lereng tebing curam yang dalamnya sekitar 20 meter. Jalan setapak itu
terus menurun. Sesekali, kami harus berpegangan batuan di tebing agar
lebih aman.

Sesekali pula, kami harus sedikit melompat untuk menghindari celah
batuan lebar di tebing. Jalan itu kemudian membawa kamu ke sebongkah
karang di sisi utara pantai. Jalan itu terputus. Untuk ke pantai, kami
mau tak mau harus melompat dari atas batu ke pasir pantai yang
tingginya lebih dari 1,5 meter.

Kami para pria tak terlalu sulit melakukan itu. Yang paling sulit
tentunya adalah Rima, staf Humas Setda Wonogiiri yang juga berhijab.
Akhirnya, dengan menggunakan tumpuan badan Pak Ripto yang telah turun
terlebih dahulu, Rima bisa setengah melompat dan akhirnya tiba di
hamparan pantai.

 Tak lama kami di pantau yang berciri khusus berupa hamparan batuan
beralur karena proses abrasi itu serta berkarang besar yang juga
terkikis gelombang hingga menyerupai kuncup jamur itu. Setelah
menyelesaikan “kewajiban” berupa pengumpulan foto, video dan data,
kami kemudian melanjutkan perjalanan meski lelah belum hilang.

Kami keluar dari pantai itu melalui tebing di sisi timur. Sama seperti
jalan yang kami lalui ketika turun, untuk naik dari area pantai kami
juga harus memanjat tebing. Bahkan lebih ekstrim. Karena tebing yang
kami panjat nyaris tegak lurus. Satu persatu, kami berhasil naik. Dan
akhirnya, kami benar-benar kehabisan stamina ketika sampai di lahan
pertanian di bagian atas tebing.

Kami kembali beristirahat. Kali ini perlu waktu cukup lama untuk
mengembalikan stamina. Air mineral, sari buah dan makanan ringan pun
segera pindah dari tas ransel ke perut kami. Setelah itu, kami kembali
menyusuri jalan setapak ke arah timur laut. Jalan setapak di yang
sebagian merupakan pematang di antara lahan pertanian.

Jalan setapak itu terputus oleh tatanan batun yang tingginya melebihi
tinggi badan kami. Ternyata, tatanan batuan kapur yang masih terlihat
baru itu adalah jalan baru yang terhubung dengan simpang tiga di mana
kami turun dari mobil untuk berjalan kaki menuju Pantai Dhadapan.
“Kita harus memanjat. Nggak ada jalan lain,” kata Pak Ripto yang
langsung memanjat tatanan batu yang tak kukuh itu.

Dengan sedikit bersusah payah, bahkan harus saling bantu, akhirnya
semua bisa melewati tantangan tersebut. Kemudian, kami mengarahkan
kaki ke arah timur. Kami terus berjalan menyusuri jalan berbatu yang
lebarnya sekitar tiga kilometer itu. Pak Ripto menyebut jalan itu akan
berakhir di Pantai Klothok yang jauhnya masih sekitar 1,5 kilometer
hingga dua kilometer lagi.

Cukup jauh memang. Tapi, rasa lelah tak terlalu menyerang karena
permukaan jalan cenderung rata. Bahkan sedikit menurun sehingga tak
perlu banyak stamina untuk melewatinya. Terlebih lagi, di sisi selatan
tersaji pemandangan yang maha indah. Dari jalan itu, kami bisa melihat
hamparan garis pantai dengan lautnya yang biru disertai hiasan buih
putih gelombang. Itu masih ditambah dengan senda gurau dan gelak tawa
karena tingkah Bintoro yang jenaka. Selalu saja ada yang bisa ia
gunakan untuk memancing tawa di antara kami.

“Kita langsung ke Pantai Klothok dan Sembukan saja. Nanti kembali lagi
ke Gunung Nglojok untuk mengambil foto sunset. Kalau kita sekarang ke
Nglojok, terlalu lama menunggu. Ini baru sekitar jam 16.00. Gunung
Nglojok kan itu,” kata Pak Ripto lantas menunjuk sebuah gunung
tertutup tanaman perdu yang menjorok ke tengah laut di sisi kanan
kami.

Kami terus berjalan. Kadang, saat menemukan spot pemandangan bagus,
kami berhenti untuk merekam gambar. Salah satunya adalah di tikungan
jalan di mana serumpun pandan laut berada di ujung tikungan. Dari
tikungan di atas tebing itu, kami bisa melihat sangat jelas Pantai
Klothok yang berada di sisi sebelah timur.



Dari atas tebing yang juga merupakan sudut tikungan jalan itu, Pantai
Klothok terlihat indah meski tak ada pasir putih di tepinya. Yang ada
justru blok-blok beton pemecah gelombang yang terhampar di antara
batuan karang di pantai. Di bagian lain, terlihat dua bangunan
permanen yang telah rusak.

Bangunan itu dulunya sempat digadang-gadang untuk administrasi
pelabuhan pendaratan ikan dan tempat pelelangan ikan. Ya, Pantai
Klothok memang sempat diproyeksikan sebagai pelabuhan pendaratan ikan
nelayan. Bangunan permanen, pelataran berpaving, beton pelabuhan dan
beton pemecah gelombang, serta alur perahu sudah dibuat di pantai itu.

Tapi, ada salah perhitungan. Arus laut terlalu liar sehingga pantai
itu tak memungkinkan untuk dipakai sebagai pelabuhan. Jangan untuk
kapal besar, untuk sampan kecil pun terlalu berbahaya karena arus
begitu kencang. Imbasnya, bangunan-bangunan yang dananya miliaran
rupiah itu kini mangkrak sisa-sia.

Kami kemudian meneruskan perjalanan. Ada jalan beraspal mulus dan landai yang menghubungkan Pantai Klothok dan Pantai Sembukan. Tapi, kami memilih tak melewati jalan itu. Bukan
karena kami masih punya banyak tenaga. Tapi, karena kami memang ingin
secara optimal mengabadikan setiap titik menarik di sepanjang pantai.
Nah, jika melewati jalan beraspal itu, otomatis kami akan kehilangan
satu spot istimewa.

di Paseban Pathuk Ngasem


Yakni Paseban Pathuk Ngasem yang berada di puncak tertinggi di antara
gunung kapur di antara Pantai Klothok dan Pantai Sembukan. Selain akan
merasakan aura mistis karena Paseban Pathuk Ngasem itu diyakini
merupakan titik berkekuatan supra natural terkuat di kasawan Pantai
Sembukan, kami yakin pemandangan dari puncak itu akan luar biasa.
Pasti sebanding dengan perjuangan kami untuk mendakinya dari Pantai
Klothok.

Sebenarnya, tak ada yang layak disebut jalan antara Pantai Klothok dan
Paseban Pathuk Ngasem. Yang ada hanyalah lereng curam berbatu di sisi
timur pantai. Pak Ripto yang menjadi pemandu kami berupaya memilihkan
celah di antara bantuan kapur sebagai pijakan kaki menuju ke puncak
Pathuk Ngasem.

Kami terus mendaki. Melawan lelah dan hempasan kencang angin pantai.
Beberapa kali kami harus berhenti mendaki. Karena betis dan paha tak
kuat menopang tubuh lagi. Entah berapa kali kami berhenti untuk
mengumpulkan tenaga agar kuat mendaki lagi. Entah berapa kali pula
kami harus merangkak layaknya cicak untuk sampai ke atas lereng.

Tak terhitung sudah berapa lembar kertas tisu yang kami habiskan untuk
menyeka keringat di wajah dan leher. Bahkan, pakaian di badan kami
juga sudah basah oleh keringat. Untungnya, kami membawa bekal air
minum yang cukup hingga kami tak sampai dehidrasi.

Kami memerlukan waktu cukup lama untuk sampai di bagian cekungan di
antara dua bukit kapur. Ternyata, ada jalan setapak berlapis beton di
tengah cekungan itu. Jalan itu merupakan jalan yang dibangun
pemerintah untuk menghubungkan Pantai Sembukan, Puncak Gunung Putri
dan Paseban Pathuk Ngasem.

Kami kemudian meneruskan perjalanan ke Paseban Pathuk Ngasem melalui
jalan kecil berlapis beton itu. Tetap saja mendaki tinggi hingga harus
berhenti beberapa kali agar kaki kembali kuat untuk berdiri. Lelah
teramat sangat dalam proses pendakian itu akhirnya terbayar. Kami tiba
di sebuah bangunan persegi panjang tanpa atap dengan satu tiang
bendera dari bambu di sudut tenggaranya.

“Ring tinju”, demikian warga menyebut bangunan di puncak Pathuk Ngasem
itu. Tak terlalu salah jika disebut seperti itu. Karena memang
sepintas seperti ring tinju. Sebab, pelataran berlapis keramik merah
hati itu dikelilingi pagar beton tak terlalu tinggi yang menyerupai
ring tinju. Kami sempat mengucap salam sebelum memasuki “ring tinju”
itu.

Kami melakukan itu bukan karena kami musrik. Kami melakukannya untuk
menghormati kearifan lokal yang sudah ratusan tahun diyakini warga.
Yakni keyakinan bahwa Pathuk Ngasem adalah satu di antara tiga puncak
bertuah di kawasan Pantai Sembukan. Terlebih lagi, Pak Ripto pemandu
kami juga menyarankan hal sama. Yakni mengucap salam pada yang tak
kelihatan.

Keyakinan bahwa apa yang akan kami dapat di puncak Pathuk Ngasem bakal
sebanding dengan perjuangan untuk mencapainya terbukti benar. Dari
puncak itu, kami bisa melihat betapa indah pemandangan alam yang
diberikan Tuhan di Paranggupito. Kami juga semakin sadar betapa
manusia hanyalah seperti sebutir debu di antara kemegahan anugerah
Yang Maha Kuasa.

Dari Paseban Pathuk Ngasem, kami melihat banyak sekali keindahan. Di
utara, kami melihat hamparan ratusan bahkan ribuan puncak gunung kapur
yang nyaris sama tinggi. Di  barat, kami melihat garis pantai yang tak
henti dihantam gelombang. Di timur, kami melihat beragam keindahan
yang lebih lengkap.

Di antaranya adalah Puncak Gunung Buthak, petilasan Raden Mas
Said/Mangkunegara I yang kini dijadikan sebuah padhepokan. Kami juga
melihat Pantai Sembukan yang begitu kecil dengan hamparan pasir putih
serta gelombang laut yang tak henti berdebur. Kami juga melihat gapura
menuju ke Pantai Sembukan dan tentunya masjid di puncak Gunung Putri.

Jauh ke timur, kami juga melihat tebing garis pantai yang terus
dihantam gelombang hingga menciptakan buih putih. Sedangkan di sisi
selatan, terlihat luasnya Samudera Indonesia. Jauh di tengah lautan,
samar-samar terlihat sebuah kapal melintas. Tak terlihat jelas apakah
kapal yang berlayar ke arah barat itu merupakan kapal nelayan, kapal
barang atau tangker .

Cukup lama kami berada di Paseban Pathuk Ngasem untuk menjalankan
kewajiban pekerjaan sekaligus menikmati keindahan alam yang tersaji.
Kemudian, Pak Ripto mengajak kami turun karena sore sudah menjelang.
Kami langsung menuju ke Pantai Sembukan melalui jalan kecil berlapis
beton itu.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di Sembukan. Sementara kami
beristirahat, Pak Ripto dan Arif kembali ke Gunung Nglojok menggunakan
sepeda motor untuk merekam suasan senja di garis pantai. Tak lama
berikutnya, Danang datang menjemput. Kami kemudian kembali ke Kantor
Kecamatan Paranggupito untuk membersihkan diri. Setelah itu, kami
menuju rumah Pak Ripto untuk makan malam dan beristirahat.

Saat kami tiba, Pak Ripto dan Arif juga sudah tiba. Saat itu,
fotographer Radar Solo tersebut langsung memamerkan keindahan senja
yang ia abadikan dari puncak Gunung Nglojok. Dia terus pamer pesona
hingga kami dipanggil untuk menikmati makan malam dengan menu khas
Paranggupito. Yakni >jangan gerus< (sayur santan dengan cabai digerus)
nan pedas, ikan tuna goreng, gudhangan, thiwul dan oseng karangan
(rumput laut).

Selain sebagai tempat transit, rumah Pak Ripto sebenarnya juga
disiapkan sebagai tempat kami menginap. Tapi, saya dan teman-teman
mempunyai keinginan lain. Yakni ingin menginap di Pendapa Pantai
Sembukan. Kami ingin merasakan aura mistis di tempat yang setiap tahun
dijadikan lokasi Labuhan Ageng itu.

Kami tak mau menghabiskan malam pertama kami di Paranggupito dengan
hanya beristirahat. Dingin dan penat tak membuat kami berhenti. Kami
memilih mengoptimalkan pemanfaatan waktu dengan tetap bekerja
sekaligus berpetualang.

Setelah menghabiskan teh hangat sisa pelengkap makan malam penuh
nikmat di rumah Pak Ripto, kami memutuskan untuk melanjutkan
pekerjaan. Kami ingin merekam keindahan bulan di atas Pantai Nampu di
Dusun Dringo, Desa Gunturharjo, yang berbatasan dengan Desa Widoro,
Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Sebelum berangkat ke Pantai Nampu, kami sudah sepakat dengan Pak Ripto
untuk kembali lagi ke rumahnya guna mengambil perlengkapan dan menuju
ke Pendapa Pantai Sembukan. Kami minta bantuan untuk dipertemukan
dengan juru kunci dan narasumber yang bisa menceritakan tentang
beragam hal di Paranggupito.

Karena Mas Danang yang menjadi driver kami harus pulang, malam itu
saya sendiri yang mengambil alih kemudi. Saya langsung tancap gas
menembus malam ke arah Gunturharjo yang jaraknya sekitar 15 kilometer
dari Kota Kecamatan Paranggupito. Sebagai orang asing, tentu kami tak
berani >blusukan< sendiri ke Pantai Nampu di malam dingin itu.

Saya kemudian memutuskan untuk “menculik” Kepala Dusun Gunturharjo
Widhi Hartono. Teman lama saya itu saya paksa mengantarkan kami ke
Pantai Nampu. Bersama beberapa warganya dan termasuk Kepala Dusun
Dringo Jumani, Widhi yang setengah kebingungan kemudian mengantarkan
kami ke Pantai Nampu.

Di Nampu, kami mencoba beberapa spot untuk menempatkan kamera guna
mencari gambar bulan di atas hamparan pantai. Tapi, semua gagal.
Mendung menyembunyikan keindahan yang kami buru malam itu. Dengan
sedikit kecewa, kami meninggalkan Pantai Nampu yang malam itu begitu
dingin dan berangin kencang tersebut.

Kami sengaja tak mampir lagi ke rumah Widhi Hartono karena kami sudah
ditunggu di Pantai Sembukan. Tapi, saya berjanji akan menginap di
rumahnya pada malam berikutnya. Setelah mengambil perbekalan dan mobil
lain di rumah Pak Ripto, kami langsung menuju ke Pantai Sembukan.

Ternyata, tak hanya Pak Ripto, juru kunci (Suprihono/Pak Pe’ok) dan
Pak Sucipto saja yang berada di pendapa pantai itu untuk menemi kami.
Tapi, ada belasan warga setempat yang bermurah hati meluangkan
waktunya untuk berbagi dingin bersama kami di Penpada Pantai
Paranggupito. Mereka telah menyiapkan air panas untuk menyeduh kopi.

Lantas, kami menurunkan logistik berupa makanan ringan, mie instan dan
perlengkapan tidur berupa field bed pinjaman dari Badan Penanggulangan
Bencana daerah (BPBD) Wonogiri. Sementara Arif dan Aji sibuk
memanfaatkan waktu untuk mengedit foto hasil buruan sebelumnya, saya,
Bintoro, Sutrisno dan Rima larut dalam obrolan bersama Pak Sucipto,
Pak Ripto, Pak Pe’ok dan warga lainnya.

Ditemani kopi panas dan mie instan, para tetua itu terus berbagi
kisah. Mulai dari keyakinan supranatural di sekitar Pantai Sembukan
hingga mitos-mitos lain di seantero Paranggupito. Berjam-jam mereka
bercerita hingga tak terasa tengah malam sudah jauh terlewati. Bahkan
kemudian, seorang petapa asal Pati yang sudah bertahun-tahun tinggal
di lereng Gunung Buthak dan dikenal warga dengan nama Ki Sabdo Gendeng
ikut turun gunung dan nimbrung dalam obrolan tersebut.

Tak saya ketahui pasti jam berapa Pak Sucipto, Pak Ripto dan warga
pamita. Yang pasti, Pak Pe’ok saya minta tetap menemani kami di
pendapa yang terkenal >wingit< itu. Sebelum pulang, Pak Ripto sempat
meninggalkan perintah yang membuat saya dan teman-teman ciut nyali.
Pesan itu adalah untuk mengubah posisi tidur yang semula membujur
dengan kaki ke arah tebing gunung di mana sebuah pohon ketapang
keramat tumbuh.

“Mohon maaf. Tolong kakinya jangan >nyikili< itu (pohon Ketapang).
Yang nunggu tidak suka. Daripada nanti dipindah dari pendapa ini ke
pantai seperti beberapa kali dialami orang lain kan mending tidak
>nyikili<,” kata Pak Ripto pelan dan sangat serius sebelum ia
meninggalkan pendapa tersebut. Pak Sucipto pun mengamini itu.
bermalam di Pendapa Pantai Sembukan


Tak menunggu diperintah lagi, saya dan Aji yang semula terlentang di
atas >field bed< dengan kaki membujur ke arah pohon Ketapan tersebut
langsung  berbalik arah. Sementara, Rima, Sutris dan Arif memilih
tidak tidur di pendapa itu. Ketiganya memilih tidur di bagian dalam
bangunan di depan pendapa yang berfungsi sebagai kantor, mushala dan
gudang. Sedang Pak Pe’ok menepi \di bagian lain pantai.

Sementara, Bintoro larut dalam obrolan bersama teman barunya yakni Ki
Sabdo Gendeng di warung kosong di dekat pelataran parkir. Sesekali
terdengar tawa mereka. Kadang juga terdengar pelan seperti
membicarakan hal yang serius. Tak saya ketahui secara pasti apa yang
mereka obrolkan. Tapi, perbincangan dua “orang aneh” ini terlihat
begitu >nyambung< hingga pagi menjelang.

Praktis, hanya saya dan Aji saja yang berada di pendapa yang menurut
Pak Sucipto memiliki kekuatan magis terkuat setelah Paseban Pathuk
Ngasem itu. Cerita Pak Sucipto dan pesan Pak Ripto sebelum pulang
mengenai kekuatan dari yang tak terlihat itu terus membayangi benak
saya hingga saya nyaris tak bisa tidur hingga beberapa saat lamanya.

Yang pasti, saya kemudian memang tertidur. Tapi, kemudian terbangun.
Saya merasa ada yang berdiri di samping kiri saja. Bahkan, saat saya
memiringkan badan, saya merasa >dilangkahi<. Bahkan, saya seperti
mendengar langkah kaki di sekitar >field bed<. Saat saya mencoba
membuka mata, ternyata tak ada siapa-siapa di pendapa itu selain saya
dan Aji yang lelap tertidur.

 Tidak hanya sekali saya terbangun karena perasaan aneh itu. Tapi,
berkali-kali-kali hingga saya merasa benar-benar ciut nyali. Akhirnya,
saya memutuskan untuk berdoa dan minta ijin secara sederhana. “Kulo
kesel tenan. Kulo tak tilem nggih. Ampun ngganggu. Nyuwun sewu nek
kulo ngganggu njenengan. Kulo namung nunut leren teng mriki. (Saya
sangat lelah. Saya tak tidur. Jangan diganggu. Mohon maaf kalau saya
mengganggu anda. Saya hanya ingin numpang istirahat di sini,” kata
saya dalam hati. Tak lama kemudian, saya bisa tidur lelap hingga
akhirnya dibangun Bintoro untuk memburu Sunrise di Puncak Gunung
Buthak. (bersambung)