Gunung Sewu, Jejak Pergerakan Lempeng Benua
Nama Gunung Sewu
atau Pegunungan Seribu sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Nama itu diberikan untuk menandai hamparan
puluhan ribu bukit kapur (karst) yang membentang dari Pantai Parangtritis di
Yogyakarta, Wonogiri di Jawa Tengah hingga Pacitan di Jawa Timur. Panjang rangkaian bukit kapur berbentuk seperti tumpeng (kerucut) tersebut mencapai 85 kilometer, sedangkan lebar dari selatan di bibir pantai ke
utara bervariasi antara 10 hingga 15 kilometer.
Hamparan bukit-bukit kapur itu ditaksir mencapai lebih
dari 40.000 buah itu semakin mendapat perhatian ketika para ahli geologi
menemukan fakta ilmiah bahwa Gunung Sewu lebih unik dan lengkap dibanding
kawasan gunung kapur lainnya. Nilai lebih itu adalah eksokarst (fenomena permukaan) dan endokarst (fenomena bawah permukaan). Eksokarst meliputi bentukan bukit kapur, lembah dan telaga.
Sedangkan endokarst meliputi gua dan sungai bawah tanahnya.
Fakta itu membuat Bentang Karst Gunung Sewu menjadi
perhatian dunia. Peneliti dari UNESCO (United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization/Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan di bawah naungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa) berulangkali meneliti
untuk memastikan apakah Gunung Sewu layak ditetapkan sebagai warisan dunia atau
tidak. Hasilnya, pada Simposium Geoparks
Network Asia-Pasifik yang ke-4 di San’in
Kaigan Geopark, Jepang, 19 September 2015 lalu, UNESCO mengumumkan
penobatkan Karst Gunung Sewu sebagai bagian dari Global Geopark Network (GGN) atau Taman Bumi Global.
Jauh hari sebelumnya, sekitar tahun 2008 lalu, para ahli
geologi juga sudah memberikan pengakuan atas keistimewaan kawasan Karst Gunung
Sewu. Pengakuan itu diwujudkan dengan pendirian Museum Karst Dunia (MKD) di
Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri. Pracimantoro
adalah satu dari lima kecamatan di Wonogiri yang dilintasi bentang karst Gunung
Sewu. Empat kecamatan lainnya adalah Eromoko, Paranggupito, Giritontro dan Giriwoyo. Ada puluhan gua, telaga dan sungai bawah tanah di antara
bukit-bukit kapur di lima kecamatan itu, yang ada di Pracimantoro dianggap sebagai yang terbaik
dibanding lainnya.
Fenomena karst Pegunungan Sewu tersebut juga merupakan
bukti adanya pergerakan atau pergeseran lempeng benua yang terjadi secara
perlahan dan terus- menerus. ‘Induk’ hamparan
Gunung Sewu yakni Pulau Jawa berada di bagian tepi Lempeng Eurasia/Euro-Asia
(meliputi Benua Eropa dan Asia) dan berhimpitan dengan Lempeng Indo-Australia
(Benua Australia). Sejak jutaan tahun lalu, lempeng Indo-Australia bergerak
pelan ke arah utara dan menghujam di bawah Lempeng Eurasia.
Imbas dari pergerakan itu, secara perlahan sisi selatan lempeng Eurasia terangkat.
Karena berlangsung sangat lama, bagian Lempeng Eurasia pun terangkat sangat
tinggi. Hamparan gunung kapur Pegunungan Sewu adalah buktinya. Dulu,
gunung-gunung tersebut adalah bagian dasar laut. Hal itu bisa dibuktikan dengan
keberadaan fosil aneka jenis biota laut di gunung-gunung kapur di Giriwoyo,
Pracimantoro dan sekitarnya. Bahkan sampai
saat ini untuk menemukan
fosil biota laut di gunung-gunung kapur itu bukan hal yang sulit.
Jejak pengangkatan Lempeng Eurasia karena desakan lempeng
Indo-Australia lainnya berupa lembah memanjang dan saling berkaitan di antara
gunung kapur di Kecamatan Giritontro, Pracimantoro, hingga Sadeng (Gunungkidul,
Yogyakarta). Lembah yang kini berupa lahan pertanian itu semuka adalah aliran Bengawan Solo Purba yang mengalir ke selatan dan
bermuara di Samudera Indonesia. Muara sungai itu sekarang dikenal sebagai
Pantai Sadeng.
Aliran Bengawan Solo Purba ke selatan itu terhenti
setelah daratan di bagian selatan terangkat. Air kemudian mencari jalurnya
sendiri ke arah yang lebih rendah,
yakni ke arah utara. Setelah ‘menempuh’ perjalanan panjang, aliran
Bengawan Solo yang baru itu kemudian bermuara di
Laut Jawa, tepatnya di
Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Bengawan Solo Baru
ini tercatat sebagai sungai terpanjang di Pulau
Jawa.
Tak hanya jejak pergerakkan dua lempeng benua saja yang
terekam di kawasan karst Wonogiri. Salah satu gua di Kawasan Museum Karst Dunia Pracimantoro
yakni Gua Gilap juga menyimpan kisah
tentang kehidupan manusia gua. Belum lama ini, sebuah tim arkeologi menemukan
banyak bukti dan penanda bahwa
manusia gua pernah hidup lama di dalam gua tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar