Monday, November 10, 2008
KENANGAN YANG TAK MUNGKIN TERULANG BERSAMA AMROSI, MUKHLAS DAN IMAM SAMUDRA
Selamat Jalan.Semoga Apa Yang Kalian Yakini Adalah Benar.
Meski baru terlaksana Minggu (10/11) dinihari kemarin,kabar akan dieksekusinya Tri Bom Bali I sudah cukup lama terdengar.Salah satu yang santer terdengar adalah eksekusi terhadap Amrosi,Mukhlas,dan Imam Samudra bakal dilakukan di penghujung tahun 2007 lalu.Tapi,hingga tahun berganti,eksekusi itu tak juga terlaksana.
Dan di awal tahun itu pula,untuk pertama kalinya saya berkesempatan untuk bertemu dengan tiga terpidana mati tersebut.Saya bertandang ke Nusakambangan bersama rombongan Tim Pengacara Muslim (TPM) Jawa Tengah.Berkat bantuan mereka pula,saya akhirnya bisa menyeberang ke Nusa Kambangan dan masuk ke lembaga pemasyarakatan di mana Amrosi,Imam Samudra dan Mukhlas ditahan.
Jujur,ketika kaki saya melangkah melalui pintu Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu Nusakambangan,saya sempat grogi dan tak terlalu yakin dengan apa yang saya lakukan.Maklum saja, yang hendak saya temui saat itu bukan narapidana sembarangan. Tapi yang hendak saya temui adalah orang pernah membuat dunia gempar dengan aksi pengeboman >Paddy's club< dan >Sari Club< --dua tempat tetirah malam yang kondang di Bali.Dan aksi itu menyebabkan ratusan nyawa melayang dan ratusan lainnya terluka.
Yang terbayang di benak saya saat itu adalah ketiganya bakal memberi sambutan tak mengenakan karena saya adalah wartawan.Saya juga terbayang mereka akan menyambut saya dengan orasi-orasi Islami yang mungkin akan sulit saya pahami dan saya terjemahkan.
Tapi,tuntutan profesi mengalahkan bayangan-bayangan di kepala saya.Dan saya pun melangkah melewati pintu masuk LP Batu.Tak sampai lima menit setelah itu, yang hendak saya temui muncul.Amrosi,Imam Samudra,dan Mukhlas tampak datang bersamaan.Di bawah penjagaan ketat sipir-sipir penjara, mereka digiring menuju ruang pertemuan yang berada tak jauh dari penjagaan LP Batu.
Dan saat itu juga,saya mendapat sambutan yang 180 derajat berbeda dengan apa yang sempat melintas di benak saya kala hendak masuk LP Batu.Ketiganya begitu ramah.Ketiganya memperlakukan saya bak seseorang yang telah lama mereka kenal. Bahkan,sambil bersalaman dan mengucap salam,ketiganya memeluk dan mencium saya seperti mereka memperlakukan Achmad Michdan,koordinator TPM yang saat itu juga termasuk dalam rombongan.
Perlakuan itu semula saya anggap terjadi karena mereka belum tahu bahwa saya adalah wartawan.Tapi,ternyata perlakuan mereka tetap sama bahkan lebih hangat saat Khalid Syaefullah,salah satu voulenteer TPM, memberitahukan status saya kepada mereka.Bahkan,Imam samudra yang saat itu duduk paling dekat dengan saya langsung mengulurkan tangan mengajak salaman lagi sambil merangkul pundak saya.
"Kalau >antum< wartawan,suarakan yang benar.Jangan sampai menyiarkan kebohongan. Kalau antum dari >Jawa Pos< (induk perusahaan tempat saya bekerja) tetap jadi Jawa Pos.Jangan sampai jadi Bohong Pos.Jihad saya melalui perang. Tapi jihad >antum< melalui berita," kata Imam Samudra saat itu.
Dalam suasana keramahan dan kekeluargaan yang berlangsung selama 30 menit itu,ketiganya berulangkali mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan di bali enam tahun lalu itu adalah sebuah perang melawan bangsa >kafir<.>Jihad< di jalan Islam adalah dasar yang mereka jadikan pembenar atas aksinya.
Mereka mengaku sama sekali tak menyesali.Malah,Amrosi saat itu mengaku yang ia sesali adalah jumlah korban dari bangsa yang menurut mereka bangsa kafir yang terlalu sedikit.Harusnya,kata dia sambil tersenyum ketika itu,yang mati dalam aksi itu adalah 1000 orang bangsa kafir."Kurang banyak.Harusnya seribu,"kata Amrosi waktu itu.
Soal adanya korban kaum muslim di bom Bali,mereka mengatakan itu di luar kesengajaan.Meski demikian,mereka sepakat menolak bahwa bom Bali terjadi tidak sesuai dengan rencana.Menurutnya,ledakan itu sudah sesuai dengan skenario, hanya saja terjadi sedikit >error< sehingga timbul korban dari kaum Muslim." Kalau memang mereka di sana dalam keadaan bekerja,insyaalah mereka mati syahid. Saya sudah membayar itu dengan puasa kifarat. Dan saya yakin , cepat atau lambat , keluarga korban akan mendukung kami," Imam Samudra.
Sedang terkait dengan rencana ekseskusi mati yang menanti,ketiganya kompak mengatakan kematian mereka bukan ditangan siapa-siapa selain Allah SWT. Dan dari sekian waktu pertemuan -- (selain pertemuan bersama di ruang pertemuan LP Batu , saya juga sempat bertemu dan berbicara secara intens dengan Mukhlas dan Imam Samudra. Masing-masing satu jam) - saya sama sekali tak melihat rona-rona kekhawatiran bahwa regu tembak bisa datangs etiap saat untuk mengakhiri hidup mereka.
Yang saya lihat saat itu adalah sebuah keteguhan dan kepasrahan.Mereka mengaku menyerahkan hidup mereka kepada sang pencipta. Mereka juga mengaku siap diekseskusi kapan saja.Bagi mereka,kematian bukan apa-apa. Dan kantian bisa dating kapan saja , melalusi cara apa saja dan menimpa siapa saja. Kematin menurut mereka adalah rahasia Allah" Nyawa saya tidak ada kaitanya dengan eksekusi.Nyawa saya milik Allah,"kata Amrosi.
Di antara ketiga terpidana mati kasus bom Bali I,Imam Samudra adalah terpidana yang paling lantang bersuara.Tak ada keraguan yang tertangkap di antara kata-katanya soal bom bali maupun soal masalah hukum yang menimpanya.Nada bicaranya terdengar meledak-ledak dan lebih terkonsep.Kata-kata yang keluar dari mulut Imam Samudra lebih fokus dan terkadang menohok.Bahkan,sesekali ucapanya terdengar >thoklek< tanpa tedeng aling-aling.
Saya tak akan mungkin melupakan salah satu ucapan Imam Samudra yang menohok dan tanpa tedeng aling-aling.Ucapan itu keluar sesaat sebelum saya mewancarainya.Saat itu,selain saya di ruang Kabid Administrasi dan Kamtib LP Batu Nusakambangan,Mudianto,terdapat dua pria bertubuh tegap.Keduanya sudah berada di ruang itu sejak Imam masuk sambil mengucap salam.
Rambut salah satu pria itu gondrong dan dikuncir ke belakang.Sedang yang lainnya menutupi rambut berubanya dengan topi.Sesaat setelah masuk,Imam Samudra membuat kedua pria itu salah tingkah.Hanya beberapa detik setelah duduk di kursi mata Imam Samudra terlihat tajam menatap keduanya secara bergantian.Pria dengan rambut terkuncir yang duduk di kursi mencoba beradu pandang dengan terpidana mati di depannya.Tapi itu hanya berlangsung beberapa detik saja.Selanjutnya,dia membuang pandangannya ke sudut lain di ruang itu.
Tiba-tiba saja,sambil terus menatap pria berkuncir,Imam menanyakan asal usul mereka.Karena tak langsung menjawab,Imam menyambung kata-katanya dengan pertanyaan “Anda dari Polres kan,anda juga kan ?,” sambil terus memandangi kedua pria tersebut secara bergantian.
Merasa ketahuan,dua pria berkaos itu mengaku bahwa mereka adalah polisi.Mau tahu apa kata Imam selanjutnya ?.“Anda-anda nggak mungkin bisa bohongi saya.Saya telah empat kali mengalami mimpi bertemu anjing dan monyet.Dan setiap pagi setelah saya bermimpi,kalau nggak ketemu dengan polisi pasti saya ketemu dengan orang pengadilan.Saya nggak bohong.Saya hanya >ngasih tahu<,” katanya enteng sambil tersenyum.
Dua polisi yang ketahuan itu pun terlihat tercekat dengan ucapan Imam Samudra. Seandainya yang mengucapkan kata itu bukan seorang Imam Samudra,bisa jadi mereka bakal naik pitam.Tapi,siang itu, keduanya terlihat “tak berdaya”di hadapan Imam Samudra.Keduanya pun kemudian tersenyum kecut sambil membuang mukanya.Tampak rona kemerahan muncul di wajah kedua pria itu.
Banyak yang diceritakan Imam Samudra saat itu,(pernah dimuat berseri di Radar Solo) tapi yang juga masih tersimpan dalam kepala saya adalah ketika dia berujar bahwa mati >syahid< adalah cita-cita yang ia pilih sejak berusia 17 tahun.Malah,pada saat itu dirinya berharap sudah menjadi >syuhada< di umur 25 tahun.“Tapi sampai sekarang malah masih hidup.Malah pada umur 25 saya menikah.Itu terjadi 3 tahun setelah saya pulang dari Afganistan,”ujarnya.
Impian mati syahid itu menurutnya akan tercapai jika nanti dirinya dieksekusi mati.Eksekusi itu akan membuatnya masuk ke surga dan bertemu dengan bidadari-bidadari yang kini telah menunggunya.“Dan isnyaallah,yang mengeksekusi saya nanti tidak akan tenang hidupnya.Kalau tidak dirinya sendiri, maka keluarganya akan mengalami celaka.Bisa saja dia mengalami kecelakaan,”imbuhnya.
Saat itu,Imam Samudra juga menjanjikan sebuah perlawanan jika hari eksekusinya tiba.Dia menyatakan tidak akan menyerah begitu saja di hadapan regu tembak.Dia tidak mau disamakan dengan kambing congek yang hanya diam ketika digelandang.“Saya ngak mau seperti kambing congek.Saya tidak akan diam begitu saja ketika diborgol atau ketika di hadapan regu tembak.Saya akan melawan semampu saya,” katanya.
Soal bentuk perlawanan yang ia janjikan,Imam mengaku akan melakukan apa saja yang ia bisa.Dia mencontohkan,kalau tanganya masih bisa dipakai melawan,dia akan menggunakan tanganya.Seandainya tidak bisa,dia akan menggunakan kaki atau bagian tubuh yang lainnya untuk melawan regu tembak.Dan kalau memang semuanya tidak bisa dilakukan,minimal dia akan melakukan perlawanan dengan hatinya.“Allahuakbar,” ucapnya kemudian.
Baginya, kematiannya karena berjihad bukanlah apa-apa.Sebab,>jihad fisabilillah< tetap akan menyala meski dirinya mati.Imam menyebut dirinya hanyalah setitik debu di antara jutaaan mujahidin di seluruh dunia yang saat ini masih berjuang di jalan Allah.Dan yang pasti,kata dia,jihad yang telah dilakukan oleh mujahid-mujahid tersebut adalah demi membela muslim dari ketertindasan.
“Dan siapa pun yang menyakiti Muslim pasti akan dihukum oleh Allah.Makanya bagi para polisi yang ada di sini,saya pesan jangan sakiti Muslim.Sebab Allah pasti akan menjatuhkan hukuman.Yang menyakiti Muslim pasti tidak akan tenang hidunya.Jadi, kepada polisi,saya pesan jangan mau kalau disuruh menangani para Mujahidin.Kalau mau,saya sumpah hidup anda tidak akan tenang.Kalau ngurusi rampok boleh.Lakukan itu bersama doa saya,“tandasnya sambil melihat ke arah dua polisi yang saat itu berada di ruangan tersebut.
Selain dengan Imam Samudra,saya juga mendapat kesempatan mewancarai Mukhlas dan Amrosi dengan waktu yang sama lamanya.Dan yang saya dapat tak jauh berbeda dengan yang saya dapat dari Imam.Keduanya juga mengaku yakin bahwa yang mereka lakukan benar.Kalaupun mereka harus mati,mereka yakin akan mati >syahid<.
Sementara,pembawaan Mukhlas sedikit berbeda dengan Imam Samudra.Nada bicara lebih kalem dan sangat agamis.Saat itu,kepada saya dia mengaku banyak kebahagian di penjara itu.Kebahagian itu menurutnya lebih dari kebahagiaan yang ia rasakan bertemu dengan istrinya di malam pertama."Alhamdulilah,saya sangat bahagia di sini.Makanya saya ceria.Kebahagiaan saya di sini melebihi saat bertemu istri di malam pertama.Kebahagiaan di sini adalah kebahagiaan >ruh< yang berhubungan dengan Allah. Sedang kebahagiaan saat bertemu istri adalah kebahagiaan jasmani,"ujarnya sambil mengelus jenggot di janggutnya yang mulai memutih.
Kebahagiaan >ruh< itu menurut Mukhlas terjadi karena selama di dalam penjara,dia bisa lebih banyak berkomunikasi dengan yang maha pencipta.Di penjara,lanjutnya,setiap hari dia bisa secara terus menerus membaca dan melafalkan ayat-ayat di kitab suci Al Qur'an dan bisa lebih khusuk menjalankan ibadah."Jadi,hakim telah membuat saya lebih bahagia dengan putusannya.Hakim salah telah memenjarakan kami,sebab kami malah merasa lebih bahagia.Di sini kami jarang mendengar ada pemurtadan terhadap Islam.Dan itu membuat kami bahagia," katanya.
Sedangkan Amrosi terlihat lebih pendiam dibanding kakaknya dan Imam Samudra.Dia juga lebih lucu dibanding Imam dan Mukhlas yang lebih banyak serius. Salah satu yang mengundang tawa ketika itu adalah ketika saya menanyakan permintaan terakhirnya jika nanti dieksekusi.”Apa ya.Kalau boleh saya minta keluar,saya ingin berjihad,”katanya datar sambil tersenyum.
Ditanya mengenai apa yang bakal ia lakukan terkait dengan hukuman mati yang mengarah padanya,Amrozi mengatakan tidak memikirkan itu.Setengah bercanda,dia mengatakan hal yang ia pikirkan terkadang malah tidak terjadi.”Saya nggak mau memikirkan itu,belum terpikirkan apa-apa.Yang jelas,di mana pun dan kapan pun saya ingin mati >syahid<.Tidak lebih.Saya juga mau kematian saya itu tidak dikenang.Tapi, terserah kalau ada yang mau ngenang,”ujar diiringi senyum lebar.
Selain kompak meyakini bahwa yang mereka lakukan benar,mereka juga kompak menolak mengajukan grasi.Mengajukan Grasi menurut mereka sama artinya dengan mengaku bersalah.Dan kalau melakukan itu sama artinya dengan mengakui hukum orang kafir.“Undang-undang di Indonesia kan peninggalan orang kafir,orang Belanda,”kata Mukhlas.
Hingga eksekusi tiba Minggu (10/11) dinihari lalu,dua kali saya mengunjungi terpidana mati bom Bali I itu.Kunjungan kedua saya lakukan 14 Mei 2008 lalu.Saat itu, fokus kunjungan saya adalah menemui Amrosi,sang pengantin baru karena dua hari sebelumnya dia menikahi lagi mantan istrinya.Saat itu. Amrosi mengaku beruntung. Dalihnya,dengan kondisinya yang serba terbatas secara fisik ternyata masih mampu menunaikan salah satu sunah nabi yaitu berpoligami.
Keberuntungan lain menurut Amrozi adalah kebersediaan mantan istri pertamanya untuk menerima dia yang terpenjara.Untuk lebih memberi kesan dalam pernikahan kedua yang ia wakilkan kepada Ali Fauzin,adiknya,Amrosi mengaku sengaja mewasiatkan agar mewakilinya mengucapkan ijab kabul dengan mengenakan baju doreng.“ Baju doreng itu adalah symbol keberanian mujahidin.Dan saya adalah mujahid. Jadi selain diwakili oleh adik saya, baju doreng itu juga merupakan simbolisasi kehadiran saya sebagai seorang mujahidin,” kata Amrozi.
Amrozi mengatakan pernikahan itu adalah kewajiban seperti halnya beribadah. Alasan lainnya, Amrozi ingin menuruti permintaan Hendra,anaknya.“Anak saya itu nakalnya bukan main.Dan setelah saya renungkan,ternyata anak saya nakal karena ayah dan ibunya berpisah.Makanya ketika dia meminta saya untuk menikahi ibunya yang saat itu kebetulan bercerai dengan suaminya,saya langsung bersedia.Tapi dari sekian alasan itu,yang paling utama adalah mengislahkan keluarga yang telah 20 tahun berpisah,” imbuhnya.
Saat itu,Amrosi juga berharap Hendra bakal mengikuti jejaknya menjadi mujahidin.Jihad adalah satu cara untuk menegakkan syariat Islam dan menggapai surga. Soal caranya,dia tidak mengharuskan anaknya menjadi martir pengeboman.Dia menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada anak-anaknya.Mungkin saja,kata dia,di saat mereka memutuskan menjadi mujahidin,ada cara baru untuk berjihad melawan bangsa kafir.
Sekarang,ketiganya telah berpulang.Saya mendapat kabar bahwa peluru telah ditembakan ke tubuh Amrosi Cs Minggu (09/11) pukul 00.22.Sebuah pesan singkat dikirimkan oleh oleh seorang teman saya dari sebuah satuan keamanan yang kebetulan bertugas di sekitar wilayah Cilacap.Isi pesan itu adalah ”Inalilahi wainailaihirojiun.Telah syahid 3 ikhwan syuhada kita Ali Imron (Mukhlas) ,Amrosi,dan Imam Samudra di Nusa Kambangan.Semoga arwah mereka ditempatkan Allah SWT sesuai dengan amal ibadahnya,”.Sesaat berikutnya,dia mengirim pesan kedua yang isinya kematian ketiga terpidana Bom Bali 1 itu telah positif.Eksekusi menurutnya terjadi pukul 00.15.
Saat itu juga,saya langsung tercenung.Saya teringat dengan pertemuan-pertemuan dengan mereka yang selalu dihiasai dengan kata >Mujahiddin<,>Jihad Fie Sabililah<, >Syahid<,dan >Syuhada<. Hati saya langsung bertanya apakah benar Imam Samudra melakukan perlawanan ketika senjata hendak ditembakkan kepadanya.Dan apakah benar malam itu yang datang menjemput arwah ketiganya adalah bidadari-bidadari surga. Hingga sekarang saya belum mendapat jawaban atas itu.
Yang pasti,malam itu saya menyempatkan diri untuk berdoa.Saya berharap ketiganya benar-benar menemui kesyahidan seperti yang mereka harapkan selama ini. Saya juga berharap mereka benar-benar disambut bidadari-bidadari surga seperti yang pernah mereka ucapkan kepada saya.Dan semoga mereka benar-benar menjadi syuhada seperti keyakinan mereka selama ini.
Satu point penting yang saya dapat dari pertemuan itu.Hal itu adalah sebuah hikmah akan kuatnya sebuah keyakinan.Mereka mengajari saya untuk meyakini sesuatu sekuat hati jika memang kita yakin bahwa yang kita yakini adalah benar.Selamat jalan Amrosi,Mukhlas dan Imam Samudra.Semoga kebaikan menantimu di kehidupan selanjutnya.
Meski baru terlaksana Minggu (10/11) dinihari kemarin,kabar akan dieksekusinya Tri Bom Bali I sudah cukup lama terdengar.Salah satu yang santer terdengar adalah eksekusi terhadap Amrosi,Mukhlas,dan Imam Samudra bakal dilakukan di penghujung tahun 2007 lalu.Tapi,hingga tahun berganti,eksekusi itu tak juga terlaksana.
Dan di awal tahun itu pula,untuk pertama kalinya saya berkesempatan untuk bertemu dengan tiga terpidana mati tersebut.Saya bertandang ke Nusakambangan bersama rombongan Tim Pengacara Muslim (TPM) Jawa Tengah.Berkat bantuan mereka pula,saya akhirnya bisa menyeberang ke Nusa Kambangan dan masuk ke lembaga pemasyarakatan di mana Amrosi,Imam Samudra dan Mukhlas ditahan.
Jujur,ketika kaki saya melangkah melalui pintu Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu Nusakambangan,saya sempat grogi dan tak terlalu yakin dengan apa yang saya lakukan.Maklum saja, yang hendak saya temui saat itu bukan narapidana sembarangan. Tapi yang hendak saya temui adalah orang pernah membuat dunia gempar dengan aksi pengeboman >Paddy's club< dan >Sari Club< --dua tempat tetirah malam yang kondang di Bali.Dan aksi itu menyebabkan ratusan nyawa melayang dan ratusan lainnya terluka.
Yang terbayang di benak saya saat itu adalah ketiganya bakal memberi sambutan tak mengenakan karena saya adalah wartawan.Saya juga terbayang mereka akan menyambut saya dengan orasi-orasi Islami yang mungkin akan sulit saya pahami dan saya terjemahkan.
Tapi,tuntutan profesi mengalahkan bayangan-bayangan di kepala saya.Dan saya pun melangkah melewati pintu masuk LP Batu.Tak sampai lima menit setelah itu, yang hendak saya temui muncul.Amrosi,Imam Samudra,dan Mukhlas tampak datang bersamaan.Di bawah penjagaan ketat sipir-sipir penjara, mereka digiring menuju ruang pertemuan yang berada tak jauh dari penjagaan LP Batu.
Dan saat itu juga,saya mendapat sambutan yang 180 derajat berbeda dengan apa yang sempat melintas di benak saya kala hendak masuk LP Batu.Ketiganya begitu ramah.Ketiganya memperlakukan saya bak seseorang yang telah lama mereka kenal. Bahkan,sambil bersalaman dan mengucap salam,ketiganya memeluk dan mencium saya seperti mereka memperlakukan Achmad Michdan,koordinator TPM yang saat itu juga termasuk dalam rombongan.
Perlakuan itu semula saya anggap terjadi karena mereka belum tahu bahwa saya adalah wartawan.Tapi,ternyata perlakuan mereka tetap sama bahkan lebih hangat saat Khalid Syaefullah,salah satu voulenteer TPM, memberitahukan status saya kepada mereka.Bahkan,Imam samudra yang saat itu duduk paling dekat dengan saya langsung mengulurkan tangan mengajak salaman lagi sambil merangkul pundak saya.
"Kalau >antum< wartawan,suarakan yang benar.Jangan sampai menyiarkan kebohongan. Kalau antum dari >Jawa Pos< (induk perusahaan tempat saya bekerja) tetap jadi Jawa Pos.Jangan sampai jadi Bohong Pos.Jihad saya melalui perang. Tapi jihad >antum< melalui berita," kata Imam Samudra saat itu.
Dalam suasana keramahan dan kekeluargaan yang berlangsung selama 30 menit itu,ketiganya berulangkali mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan di bali enam tahun lalu itu adalah sebuah perang melawan bangsa >kafir<.>Jihad< di jalan Islam adalah dasar yang mereka jadikan pembenar atas aksinya.
Mereka mengaku sama sekali tak menyesali.Malah,Amrosi saat itu mengaku yang ia sesali adalah jumlah korban dari bangsa yang menurut mereka bangsa kafir yang terlalu sedikit.Harusnya,kata dia sambil tersenyum ketika itu,yang mati dalam aksi itu adalah 1000 orang bangsa kafir."Kurang banyak.Harusnya seribu,"kata Amrosi waktu itu.
Soal adanya korban kaum muslim di bom Bali,mereka mengatakan itu di luar kesengajaan.Meski demikian,mereka sepakat menolak bahwa bom Bali terjadi tidak sesuai dengan rencana.Menurutnya,ledakan itu sudah sesuai dengan skenario, hanya saja terjadi sedikit >error< sehingga timbul korban dari kaum Muslim." Kalau memang mereka di sana dalam keadaan bekerja,insyaalah mereka mati syahid. Saya sudah membayar itu dengan puasa kifarat. Dan saya yakin , cepat atau lambat , keluarga korban akan mendukung kami," Imam Samudra.
Sedang terkait dengan rencana ekseskusi mati yang menanti,ketiganya kompak mengatakan kematian mereka bukan ditangan siapa-siapa selain Allah SWT. Dan dari sekian waktu pertemuan -- (selain pertemuan bersama di ruang pertemuan LP Batu , saya juga sempat bertemu dan berbicara secara intens dengan Mukhlas dan Imam Samudra. Masing-masing satu jam) - saya sama sekali tak melihat rona-rona kekhawatiran bahwa regu tembak bisa datangs etiap saat untuk mengakhiri hidup mereka.
Yang saya lihat saat itu adalah sebuah keteguhan dan kepasrahan.Mereka mengaku menyerahkan hidup mereka kepada sang pencipta. Mereka juga mengaku siap diekseskusi kapan saja.Bagi mereka,kematian bukan apa-apa. Dan kantian bisa dating kapan saja , melalusi cara apa saja dan menimpa siapa saja. Kematin menurut mereka adalah rahasia Allah" Nyawa saya tidak ada kaitanya dengan eksekusi.Nyawa saya milik Allah,"kata Amrosi.
Di antara ketiga terpidana mati kasus bom Bali I,Imam Samudra adalah terpidana yang paling lantang bersuara.Tak ada keraguan yang tertangkap di antara kata-katanya soal bom bali maupun soal masalah hukum yang menimpanya.Nada bicaranya terdengar meledak-ledak dan lebih terkonsep.Kata-kata yang keluar dari mulut Imam Samudra lebih fokus dan terkadang menohok.Bahkan,sesekali ucapanya terdengar >thoklek< tanpa tedeng aling-aling.
Saya tak akan mungkin melupakan salah satu ucapan Imam Samudra yang menohok dan tanpa tedeng aling-aling.Ucapan itu keluar sesaat sebelum saya mewancarainya.Saat itu,selain saya di ruang Kabid Administrasi dan Kamtib LP Batu Nusakambangan,Mudianto,terdapat dua pria bertubuh tegap.Keduanya sudah berada di ruang itu sejak Imam masuk sambil mengucap salam.
Rambut salah satu pria itu gondrong dan dikuncir ke belakang.Sedang yang lainnya menutupi rambut berubanya dengan topi.Sesaat setelah masuk,Imam Samudra membuat kedua pria itu salah tingkah.Hanya beberapa detik setelah duduk di kursi mata Imam Samudra terlihat tajam menatap keduanya secara bergantian.Pria dengan rambut terkuncir yang duduk di kursi mencoba beradu pandang dengan terpidana mati di depannya.Tapi itu hanya berlangsung beberapa detik saja.Selanjutnya,dia membuang pandangannya ke sudut lain di ruang itu.
Tiba-tiba saja,sambil terus menatap pria berkuncir,Imam menanyakan asal usul mereka.Karena tak langsung menjawab,Imam menyambung kata-katanya dengan pertanyaan “Anda dari Polres kan,anda juga kan ?,” sambil terus memandangi kedua pria tersebut secara bergantian.
Merasa ketahuan,dua pria berkaos itu mengaku bahwa mereka adalah polisi.Mau tahu apa kata Imam selanjutnya ?.“Anda-anda nggak mungkin bisa bohongi saya.Saya telah empat kali mengalami mimpi bertemu anjing dan monyet.Dan setiap pagi setelah saya bermimpi,kalau nggak ketemu dengan polisi pasti saya ketemu dengan orang pengadilan.Saya nggak bohong.Saya hanya >ngasih tahu<,” katanya enteng sambil tersenyum.
Dua polisi yang ketahuan itu pun terlihat tercekat dengan ucapan Imam Samudra. Seandainya yang mengucapkan kata itu bukan seorang Imam Samudra,bisa jadi mereka bakal naik pitam.Tapi,siang itu, keduanya terlihat “tak berdaya”di hadapan Imam Samudra.Keduanya pun kemudian tersenyum kecut sambil membuang mukanya.Tampak rona kemerahan muncul di wajah kedua pria itu.
Banyak yang diceritakan Imam Samudra saat itu,(pernah dimuat berseri di Radar Solo) tapi yang juga masih tersimpan dalam kepala saya adalah ketika dia berujar bahwa mati >syahid< adalah cita-cita yang ia pilih sejak berusia 17 tahun.Malah,pada saat itu dirinya berharap sudah menjadi >syuhada< di umur 25 tahun.“Tapi sampai sekarang malah masih hidup.Malah pada umur 25 saya menikah.Itu terjadi 3 tahun setelah saya pulang dari Afganistan,”ujarnya.
Impian mati syahid itu menurutnya akan tercapai jika nanti dirinya dieksekusi mati.Eksekusi itu akan membuatnya masuk ke surga dan bertemu dengan bidadari-bidadari yang kini telah menunggunya.“Dan isnyaallah,yang mengeksekusi saya nanti tidak akan tenang hidupnya.Kalau tidak dirinya sendiri, maka keluarganya akan mengalami celaka.Bisa saja dia mengalami kecelakaan,”imbuhnya.
Saat itu,Imam Samudra juga menjanjikan sebuah perlawanan jika hari eksekusinya tiba.Dia menyatakan tidak akan menyerah begitu saja di hadapan regu tembak.Dia tidak mau disamakan dengan kambing congek yang hanya diam ketika digelandang.“Saya ngak mau seperti kambing congek.Saya tidak akan diam begitu saja ketika diborgol atau ketika di hadapan regu tembak.Saya akan melawan semampu saya,” katanya.
Soal bentuk perlawanan yang ia janjikan,Imam mengaku akan melakukan apa saja yang ia bisa.Dia mencontohkan,kalau tanganya masih bisa dipakai melawan,dia akan menggunakan tanganya.Seandainya tidak bisa,dia akan menggunakan kaki atau bagian tubuh yang lainnya untuk melawan regu tembak.Dan kalau memang semuanya tidak bisa dilakukan,minimal dia akan melakukan perlawanan dengan hatinya.“Allahuakbar,” ucapnya kemudian.
Baginya, kematiannya karena berjihad bukanlah apa-apa.Sebab,>jihad fisabilillah< tetap akan menyala meski dirinya mati.Imam menyebut dirinya hanyalah setitik debu di antara jutaaan mujahidin di seluruh dunia yang saat ini masih berjuang di jalan Allah.Dan yang pasti,kata dia,jihad yang telah dilakukan oleh mujahid-mujahid tersebut adalah demi membela muslim dari ketertindasan.
“Dan siapa pun yang menyakiti Muslim pasti akan dihukum oleh Allah.Makanya bagi para polisi yang ada di sini,saya pesan jangan sakiti Muslim.Sebab Allah pasti akan menjatuhkan hukuman.Yang menyakiti Muslim pasti tidak akan tenang hidunya.Jadi, kepada polisi,saya pesan jangan mau kalau disuruh menangani para Mujahidin.Kalau mau,saya sumpah hidup anda tidak akan tenang.Kalau ngurusi rampok boleh.Lakukan itu bersama doa saya,“tandasnya sambil melihat ke arah dua polisi yang saat itu berada di ruangan tersebut.
Selain dengan Imam Samudra,saya juga mendapat kesempatan mewancarai Mukhlas dan Amrosi dengan waktu yang sama lamanya.Dan yang saya dapat tak jauh berbeda dengan yang saya dapat dari Imam.Keduanya juga mengaku yakin bahwa yang mereka lakukan benar.Kalaupun mereka harus mati,mereka yakin akan mati >syahid<.
Sementara,pembawaan Mukhlas sedikit berbeda dengan Imam Samudra.Nada bicara lebih kalem dan sangat agamis.Saat itu,kepada saya dia mengaku banyak kebahagian di penjara itu.Kebahagian itu menurutnya lebih dari kebahagiaan yang ia rasakan bertemu dengan istrinya di malam pertama."Alhamdulilah,saya sangat bahagia di sini.Makanya saya ceria.Kebahagiaan saya di sini melebihi saat bertemu istri di malam pertama.Kebahagiaan di sini adalah kebahagiaan >ruh< yang berhubungan dengan Allah. Sedang kebahagiaan saat bertemu istri adalah kebahagiaan jasmani,"ujarnya sambil mengelus jenggot di janggutnya yang mulai memutih.
Kebahagiaan >ruh< itu menurut Mukhlas terjadi karena selama di dalam penjara,dia bisa lebih banyak berkomunikasi dengan yang maha pencipta.Di penjara,lanjutnya,setiap hari dia bisa secara terus menerus membaca dan melafalkan ayat-ayat di kitab suci Al Qur'an dan bisa lebih khusuk menjalankan ibadah."Jadi,hakim telah membuat saya lebih bahagia dengan putusannya.Hakim salah telah memenjarakan kami,sebab kami malah merasa lebih bahagia.Di sini kami jarang mendengar ada pemurtadan terhadap Islam.Dan itu membuat kami bahagia," katanya.
Sedangkan Amrosi terlihat lebih pendiam dibanding kakaknya dan Imam Samudra.Dia juga lebih lucu dibanding Imam dan Mukhlas yang lebih banyak serius. Salah satu yang mengundang tawa ketika itu adalah ketika saya menanyakan permintaan terakhirnya jika nanti dieksekusi.”Apa ya.Kalau boleh saya minta keluar,saya ingin berjihad,”katanya datar sambil tersenyum.
Ditanya mengenai apa yang bakal ia lakukan terkait dengan hukuman mati yang mengarah padanya,Amrozi mengatakan tidak memikirkan itu.Setengah bercanda,dia mengatakan hal yang ia pikirkan terkadang malah tidak terjadi.”Saya nggak mau memikirkan itu,belum terpikirkan apa-apa.Yang jelas,di mana pun dan kapan pun saya ingin mati >syahid<.Tidak lebih.Saya juga mau kematian saya itu tidak dikenang.Tapi, terserah kalau ada yang mau ngenang,”ujar diiringi senyum lebar.
Selain kompak meyakini bahwa yang mereka lakukan benar,mereka juga kompak menolak mengajukan grasi.Mengajukan Grasi menurut mereka sama artinya dengan mengaku bersalah.Dan kalau melakukan itu sama artinya dengan mengakui hukum orang kafir.“Undang-undang di Indonesia kan peninggalan orang kafir,orang Belanda,”kata Mukhlas.
Hingga eksekusi tiba Minggu (10/11) dinihari lalu,dua kali saya mengunjungi terpidana mati bom Bali I itu.Kunjungan kedua saya lakukan 14 Mei 2008 lalu.Saat itu, fokus kunjungan saya adalah menemui Amrosi,sang pengantin baru karena dua hari sebelumnya dia menikahi lagi mantan istrinya.Saat itu. Amrosi mengaku beruntung. Dalihnya,dengan kondisinya yang serba terbatas secara fisik ternyata masih mampu menunaikan salah satu sunah nabi yaitu berpoligami.
Keberuntungan lain menurut Amrozi adalah kebersediaan mantan istri pertamanya untuk menerima dia yang terpenjara.Untuk lebih memberi kesan dalam pernikahan kedua yang ia wakilkan kepada Ali Fauzin,adiknya,Amrosi mengaku sengaja mewasiatkan agar mewakilinya mengucapkan ijab kabul dengan mengenakan baju doreng.“ Baju doreng itu adalah symbol keberanian mujahidin.Dan saya adalah mujahid. Jadi selain diwakili oleh adik saya, baju doreng itu juga merupakan simbolisasi kehadiran saya sebagai seorang mujahidin,” kata Amrozi.
Amrozi mengatakan pernikahan itu adalah kewajiban seperti halnya beribadah. Alasan lainnya, Amrozi ingin menuruti permintaan Hendra,anaknya.“Anak saya itu nakalnya bukan main.Dan setelah saya renungkan,ternyata anak saya nakal karena ayah dan ibunya berpisah.Makanya ketika dia meminta saya untuk menikahi ibunya yang saat itu kebetulan bercerai dengan suaminya,saya langsung bersedia.Tapi dari sekian alasan itu,yang paling utama adalah mengislahkan keluarga yang telah 20 tahun berpisah,” imbuhnya.
Saat itu,Amrosi juga berharap Hendra bakal mengikuti jejaknya menjadi mujahidin.Jihad adalah satu cara untuk menegakkan syariat Islam dan menggapai surga. Soal caranya,dia tidak mengharuskan anaknya menjadi martir pengeboman.Dia menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada anak-anaknya.Mungkin saja,kata dia,di saat mereka memutuskan menjadi mujahidin,ada cara baru untuk berjihad melawan bangsa kafir.
Sekarang,ketiganya telah berpulang.Saya mendapat kabar bahwa peluru telah ditembakan ke tubuh Amrosi Cs Minggu (09/11) pukul 00.22.Sebuah pesan singkat dikirimkan oleh oleh seorang teman saya dari sebuah satuan keamanan yang kebetulan bertugas di sekitar wilayah Cilacap.Isi pesan itu adalah ”Inalilahi wainailaihirojiun.Telah syahid 3 ikhwan syuhada kita Ali Imron (Mukhlas) ,Amrosi,dan Imam Samudra di Nusa Kambangan.Semoga arwah mereka ditempatkan Allah SWT sesuai dengan amal ibadahnya,”.Sesaat berikutnya,dia mengirim pesan kedua yang isinya kematian ketiga terpidana Bom Bali 1 itu telah positif.Eksekusi menurutnya terjadi pukul 00.15.
Saat itu juga,saya langsung tercenung.Saya teringat dengan pertemuan-pertemuan dengan mereka yang selalu dihiasai dengan kata >Mujahiddin<,>Jihad Fie Sabililah<, >Syahid<,dan >Syuhada<. Hati saya langsung bertanya apakah benar Imam Samudra melakukan perlawanan ketika senjata hendak ditembakkan kepadanya.Dan apakah benar malam itu yang datang menjemput arwah ketiganya adalah bidadari-bidadari surga. Hingga sekarang saya belum mendapat jawaban atas itu.
Yang pasti,malam itu saya menyempatkan diri untuk berdoa.Saya berharap ketiganya benar-benar menemui kesyahidan seperti yang mereka harapkan selama ini. Saya juga berharap mereka benar-benar disambut bidadari-bidadari surga seperti yang pernah mereka ucapkan kepada saya.Dan semoga mereka benar-benar menjadi syuhada seperti keyakinan mereka selama ini.
Satu point penting yang saya dapat dari pertemuan itu.Hal itu adalah sebuah hikmah akan kuatnya sebuah keyakinan.Mereka mengajari saya untuk meyakini sesuatu sekuat hati jika memang kita yakin bahwa yang kita yakini adalah benar.Selamat jalan Amrosi,Mukhlas dan Imam Samudra.Semoga kebaikan menantimu di kehidupan selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar