Rabu, 28 September 2016

Di Balik Penyusunan Buku Foto Eksotika Tepi Benua (1)



Di Balik Penyusunan Buku Foto Eksotika Tepi Benua (1)


Akhir Agustus hingga awal September 2015 lalu, tim gabungan Jawa Pos Radar
Solo dan Bagian Humas Setda Wonogiri melakoni ekspedisi susur Pantai
Selatan. Kami berupaya merekam semua potensi yang mungkin bisa
dikembangkan di wilayah Wonogiri selatan itu dalam sebuah buku foto
dan video.

======================================================================
 
Disambut Terjal, Kering dan Gersangnya Alam



Matahari tepat berada di atas kepala ketika kendaraan yang kami
tumpangi memasuki halaman Kantor Kecamatan Paranggupito, (31/8). Kami
sengaja mampir untuk >kulonuwun< sekaligus menjemput >guide< yang
disiapkan untuk memandu perjalanan kami. Ada dua pemandu yang
disiapkan Camat Paranggupito, Haryanto, untuk kami. Mereka adalah
Danang Indarto dan Ripto Dwi Hartono.

Tak lama kami berada di kantor itu. Danang yang mengambil alih kemudi
mobil kemudian mengantarkan kami menuju Dusun Klampeyan, Desa
Paranggupito. Dusun itu merupakan wilayah paling tepi di Desa
Paranggupito. Jaraknya sekitar lima kilometer dari kantor Kecamatan
Paranggupito.

Gersang, kering dan panas adalah hal yang kami temui di sepanjang
perjalanan melintasi jalan beraspal dan cor beton itu. Pohon-pohon
jati meranggas menjadi “penghias” bukit-bukit batu di sisi kiri dan
kanan jalan. Tanah-tanah pertanian di antara bukit-bukit itu juga
terlihat kering. Bahkan, terlihat jelas angin menerbankan lapisan debu
di atas tanah merah merekah itu.

  Di ujung jalan berlapis cor beton, perjalanan menggunakan mobil
kami berakhir. Kami kemudian meneruskan perjalanan dengan berjalan
kaki. >Jumblang Ilat-Ilat<, sebuah >luweng< di antara tanah pertanian
berbatu di tepi dusun itu adalah tujuan pertama kami. jalan menuju
luweng yang jaraknya sekitar dua kilometer dari ujung jalan desa itu.

Jalannya berupa jalan setapak naik turun di antara runcingnya batuan
kapur perbukitan. Sesekali, untuk mempersingkat jarak, kami sengaja
mencari jalan pintas dengan melintasi bagian tengah lahan pertanian
yang kering dan tak tergarap. Sesekali pula kami berhenti di bawah
bayangan pohon kelapa untuk mengurangi suhu panas yang mulai melanda
badan.

Setelah beberapa saat, kami sampai di sebuah hamparan tanah pertanian
di sisi timur sebuah bukti batu kecil. Ada bagian cekung di dasar
bukit batu itu. Dari jauh, kami melihat bagian itu ditumbuhi beragam
jenis pepohonan. Termasuk serumpun bambu duri. “Itu adalah mulut
luweng Jumblang Ilat-Ilat,” kata Pak Ripto sambil melihat kami yang
sedikit terengah-engah dan bermandi keringat.

Mantan Sekretaris Desa Paranggupito itu kemudian mengajak kami
menuruni lahanan pertanian tersebut untuk menjangkau mulut luweng.
Lagi-lagi, kami menemui jalan setapak di antara runcingnya batuan
kapur. Semakin dekat ke mulut luweng, jalan semakin ekstrim.

Akhirnya, kami sampai di bibir mulut luweng yang mengangga di sisi
selatan tebing. Ada sebatang pohon besar yang tumbuh dari dasar luweng
hingga daunnya jauh muncul ke permukaan. Tak diketahui secara pasti
jenis pohon liar itu. Yang jelas, pohon itulah yang digunakan dasar
untuk menamai luweng itu dengan nama Jumblang Ilat-Ilat. Keberadaan
pohon di tengah lubang itu menyerupai lidah (Jawa: ilat) di tengah
mulut yang menganga.

Tak ada jalan untuk masuk ke luweng berdiameter sekitar 30 meter yang
bagian tepinya ditumbuhi semak belukar rapat dan beberapa jenis pohon
itu. Pak Ripto pun kemudian berinisiatif membuka jalan ala akadarnya
untuk menjangkau sedekat mungkin dengan bagian dalam luweng yang
atapnya dihiasi ratusan stalagtit itu.

Saking sulitnya, Pak Ripto sampai harus merangkak layaknya cicak untuk
turun ke bagian dalam mulut luweng. Dia berhasil. Kemudian, Arif
Budiman (juru foto Jawa Pos Radar Solo) dan Purna Aji (pehobi
fotografi yang kami ajak berpetualang) memutuskan untuk ikut “uji
nyali” Pak Ripto. Keduanya merangkak turun untuk mendapatkan foto
luweng itu dari sudut terdekat.

Saya, Bintoro, Sutris, dan Rima (ketiganya staf di Bagian Humas Setda
Wonogiri) memilih berupaya merekam luweng dari bagian atas barat
tebing. Tapi, tetap saja tak ada tempat terbaik untuk bisa
mengabadikan luweng itu dari sisi atas. “Dijupuk sakkenekke wae. Wong
angel (diambil sekenannya aja karena sulit),” kata Bintoro dari atas
tonjolan batu di bagian barat luweng lantas terkekeh.

Setelah itu, sambil menunggu Arif, Aji, dan Pak Ripto kembali ke atas,
kami lebih menghabiskan waktu untuk mereview jadwal perjalanan sambil
berteduh di bawah pohon kelapa. Beruntung, dua perempuan petani
kemudian melintas. Mereka menyapa kami ramah. Bahkan, mereka kemudian
menawarkan sesuatu yang sangat sulit untuk kami tolak di tengah
sengatan panas matahari.

Keduanya menawarkan >degan< (kelapa muda) di pohon kelapa rendah yang
tumbuh di tengah lahan pertanian kepada kami untuk pelepas dahaga.
Lalu, dengan galah bambu, saya berupaya memetik beberapa degan.
Sebagian langsung kami nikmati dan sebagian kami siapkan untuk Arif,
Aji dan Pak Ripto yang berada di bagian lebih dalam mulut luweng.

Melalui pesawat radio komunikasi (HT), kami mendapat kabar dari Pak
Ripto jika mereka sudah bergerak ke permukaan lagi. Kami kemudian
bergeser kembali ke mulut luweng. Benar saja, mereka tiba di bagian
bibir luweng tak lama setelah kami juga tiba di sana. “Capek. Tapi
obyek fotonya bagus. Menghibur dan jalannya menegangkan. Uji nyali,
pol. Kalau bisa motret dari dalam pasti lebih bagus. Tapi, tidak ada
jalan masuknya,” kata Arif usai menenggak air kelapa muda yang saya
sodorkan.

Dia kemudian memamerkan frame demi frame foto yang ia abadikan di
mulut Jumblang Ilat-Ilat. Pak Ripto juga menambahkan cerita bahwa di
bagian dasar luweng ada bagian tanah lapang yang sempat hendak
digunakan untuk menggelar upacara bendera. Tapi, acara itu urung
terlaksana karena sulitnya akses untuk masuk ke dasar luweng. “Di
bagian bawah juga ada rongga yang belum dimasuki,” katanya.

Setelah keringat kering, kami kemudian melanjutkan perjalanan. Semula,
kami minta langsung disambungkan ke pantai dengan cara mendaki
pegunungan. Tapi, Pak Ripto mengatakan itu tidak memungkinkan. Akan
menghabiskan banyak waktu untuk melintasi gunung di sisi selatan
luweng. Akhirnya, kami dibawa kembali melintasi jalan yang sebelumnya
kami lewati untuk menuju luweng.

Akhirnya, kami tiba kembali ke ujung jalan desa. Ternyata, Pak Ripto
dan Danang sebelumnya sudah sepakat untuk saling menunggu. Setelah
itu, kami kembali diantar menggunakan mobil ke bagian desa yang lebih
selatan. Kali ini, jalannya bukan berupa cor beton. Tapi, hanya berupa
jalan berlapis batu kapur terjal. Danang kemudian menghentikan
mobilnya di simpang tiga.

“Kita turun di sini. Kita berjalan kaki ke Pantai Dhadapan. Ini
pantai di bagian perbatasan Jateng-Jogjakarta. Setelah itu, dari
Dhadapan kita akan berjalan kaki menyusuri pantai ke arah timur.
Semoga sebelum Maghrib kita bisa sampai di Pantai Sembukan,” kata Pak
Ripto lantas meminta Danang untuk kembali ke kantor Kecamatan
Paranggupito....


aku Ari Budiman (pegang kamera) dan Pak Ripto di Pantai Dhadapan



Pantai Dhadapan adalah di mana tonggak tapal batas Jawa Tengah-Daerah
Istimewa Jogjakarta terpasang. Di pantai berpasir putih yang masih ada
di Dusun Klampeyan, Desa/Kecamatan Paranggupito ini pula perjalanan
kaki menyusuri pantai selatan Wonogiri di mulai. Bagaimana kisahnya?

Waktu yang sangat terbatas membuat kami bergegas usai turun dari mobil
yang dikemudikan Danang. Jalan selebar empat meter yang kami lintasi
itu adalah jalan baru. Bahkan masih sangat terlihat baru karena
bongkahan-bongkahan batu yang tertata masih berwarna putih bersih.
Belum ada lumut yang melapisinya.

“Ini adalah jalan baru yang sengaja dibuat untuk menuju ke Pantai
Dhadapan. Kami memang punya program untuk membuat jalan penghubung
antar pantai. Yang di bagian paling barat ya jalan ini. Tapi, dari
simpang tiga ini ke Pantai Dhadapan belum panjang. Kalau dari simpang
tiga ini ke timur sudah sampai di Sembukan,” terang Pak Ripto sambil
berjalan.

Benar saja. Jalan baru menuju Pantai Dhadapan itu memang belum
panjang. Hanya sekitar 200 meter saja. Jalan itu berakhir setelah
melintasi tanjakan yang tak seberapa tinggi. Setelah itu, untuk menuju
ke Pantai Dhadapan hanya ada jalan setapak di tebing gunung. Perlu
kehati-hatian untuk melintasi jalan setapak yang tersembunyi di antara
semak belukar dan rumpung ilalang kering itu.

Saat kaki mulai menapak jalan setapak di antara tonjolan batu di
lereng selatan bukit kapur itu, aroma pantai mulai tercium. Ciri khas
pantai yang mulai terasa itu adalah angin yang berhembus kencang dari
arah selatan. Ada aroma laut yang khas. Tak lama kemudian, debur ombak
mulai terdengar. Pucuk-pucuk pandan laut pun mulai terlihat.

Jalan setapak menurun yang kami lewati itu berujung di bagian dasar
bukit kapur. Ujung jalan itu berupa simpang tiga jalan setapa yang
berada di bibir jurang sebelah timur sebuah pantai yang disebut
Dhadapan. Pandan laut tinggi yang sejak awal terlihat itu menjadi
pembatas dasar bukit dengan tebing laut.

“Untuk ke pantainya, kita ikuti jalan ini. Ini satu-satunya jalan ke
pantai,” kata Pak Ripto sambil menunjuk arah barat di simpang tiga
jalan setapak di dasar bukit yang juga merupakan tepian jurang/tebing
pantai. Kami kembali jalan yang kemudian berbelok ke bawah rumpun
pandan. Jalan itu kemudian mneyambung ke bongkahan karang.

Dari bongkahan karang itu, kami harus ekstra hati-hati lagi. Sebab,
selain menurun, jalan setapak tersebut juga licin karena basah air
laut yang terbawa angin. Sementara, di bagian bawah bongkahan karang,
terhampar putihya pasir pantai. Di bagian barat yang lebih dekat laut,
karang tampak begitu kukuh meski tak henti dihajar gelombang.

Ada banyak perempuan paro baya dan beberapa anak-anak terlihat
beraktivitas di hamparan batuan yang berada antara laut lepas dan
pasir pantai. Sesekali, mereka menghindari air laut yang menyapu
batuan datar itu. Pak Ripto menerangkan, mereka tengah memburu
usal/siput laut, hewan kecil dan >karangan< (salah satu jenis rumput
laut).

Bukan untuk dijual. Tapi untuk dikonsumsi sebagai lauk pauk. Di bagian
lain pantai, juga ada beberapa pria yang tampak begitu dekat dengan
laut. Mereka terlihat begitu akrab dengan gelombang berbuih putih itu.
Meski demikian, pria yang kemudian kami ketahui sedang memburu lobster
itu tetap berlari menepi manakala ombak terlalu tinggi. Tapi, ada pula
hanya memilih bersumbunyi di balik bongkahan karang.

Sejenak kami melepas lelah di hamparan pasir pantai. Kami memilih
bagian pantai yang teduh di sisi barat. Tapi, Pak Ripto mengingatkan
agar kami tak terlalu lama karena jalan masih panjang.  Kami pun tak
mau terlalu larut dalam keindahan pesisir nan memukau. Kami langsung
bekerja sesuai tugas masing-masing untuk merekam semua potensi dan
kisah tentang pantai itu.

Sekitar sejam kemudian, kami sepakat untuk meninggalkan pantai itu.
Kami kembali harus melewati jalan di mana kami datang ke pantai. Kali
ini tak menurun. Tapi mendaki. Dan di simpang tiga jalan setapak di
dasar bukit, Pak Ripto mengajak kami berbelok kanan. Atau tidak lagi
kembali mendaki lereng tebing yang sebelumnya kami lewati.

“Kita lewat sini saja. Kita akan ke Pantai Njojogan. Tapi, ada yang
ingin saya tunjukkan nanti di tengah jalan. Yaitu bekas sentra
pembuatan garam tradisional. Mungkin menarik dan bisa menjadi penambah
cerita mengenai kehidupan di sini,” kata pria berperawakan kurus
tinggi itu sambil terus berjalan.

Di punggung bukit yang datar, Pak Ripto berhenti. Di lantas berjongkok
dan mengambil selembar pecahan gerabah. Dan ternyata, pecahan gerabah
itu tak hanya ada di mana Pak Ripto mengajak kami berhenti. Tapi,
puing itu ada di hampir seluruh bagian lereng bukti yang datar itu.
Tak hanya pecahan gentong tanah. Tapi ada pula sisa tunggu perapian di
tempat tersebut.

Dari Pak Ripto, kami akhirnya tahu bahwa pecahan gerabah tersebut
merupakan sisa “industri” garam tradisional di masa lampau. Menurut
dia, di tanah datar itu dulu ada sekelompok warga Paranggupito yang
menekuni pembuatan garam. Caraya sangat sederhana. Yakni dengan
mengambil air laut dari pantai. Kemudian merebusnya menggunakan
gentong dan tungku kayu hingga ada bagian air laut yang berubah
menjadi kristal garam.

“Tapi ini sudah sangat lama. Sudah tidak ada saksi hidup yang bisa
menuturkan pembuatan garam di pantai ini. Kami pun hanya tinggal
mendapat cerita dari nenek moyang mengenai industri garam tradisional
ini. Yang tersisa saat ini tinggal puing pembuatan gentong saja,” kata
Pak Ripto lantas mengajak kami meneruskan perjalanan ke arah tenggara
atau ke balik sebuah bukit karang di mana sebuah pantai berada. 

menuju pantai jojogan



Pantai itu adalah Pantai Njojogan. Saat itu, lelah mulai menyerang. Kaki mulai kemeng dan kesemutan. Jalan setapak naik turun gunung kapur membuat stamina kami cepat
habis. Jalan dari hamparan puing gerabah ke balik gunung kapur untuk
menjangkau Pantai Njojogan memang tak seberapa jauh. Bahkan tak sampai
satu kilometer. 

Tapi, karena permukaannya yang naik turun, lelah pun
cepat menyerang. Betis dan paha merupakan bagian dari tubuh yang
paling terasa lelahnya. Tak hanya saya, tapi semua mengeluhkan hal
yang sama. Hanya Pak Ripto saja yang masih terlihat bugar. Mungkin,
karena dia sudah terbiasa dengan medan ekstrim di Paranggupito.

“Kita nanti harus menuruni tebing ini untuk mencapai pantai. Mudah
kok. Tapi, kalau sekarang sudah lelah, istirahat dulu sebentar. Tapi
jangan lama-lama. Kita nanti sebelum Maghrib harus sampai di
Sembukan,” kata Pak Ripto lantas tersenyum sambil melihat kami yang
>megap-megap<.

 Setelah melepas dahaga dengan air mineral yang kami bawa, perjalanan
dilanjutkan. Kali ini, kami harus >tritipan< di jalan setapak di
lereng tebing curam yang dalamnya sekitar 20 meter. Jalan setapak itu
terus menurun. Sesekali, kami harus berpegangan batuan di tebing agar
lebih aman.

Sesekali pula, kami harus sedikit melompat untuk menghindari celah
batuan lebar di tebing. Jalan itu kemudian membawa kamu ke sebongkah
karang di sisi utara pantai. Jalan itu terputus. Untuk ke pantai, kami
mau tak mau harus melompat dari atas batu ke pasir pantai yang
tingginya lebih dari 1,5 meter.

Kami para pria tak terlalu sulit melakukan itu. Yang paling sulit
tentunya adalah Rima, staf Humas Setda Wonogiiri yang juga berhijab.
Akhirnya, dengan menggunakan tumpuan badan Pak Ripto yang telah turun
terlebih dahulu, Rima bisa setengah melompat dan akhirnya tiba di
hamparan pantai.

 Tak lama kami di pantau yang berciri khusus berupa hamparan batuan
beralur karena proses abrasi itu serta berkarang besar yang juga
terkikis gelombang hingga menyerupai kuncup jamur itu. Setelah
menyelesaikan “kewajiban” berupa pengumpulan foto, video dan data,
kami kemudian melanjutkan perjalanan meski lelah belum hilang.

Kami keluar dari pantai itu melalui tebing di sisi timur. Sama seperti
jalan yang kami lalui ketika turun, untuk naik dari area pantai kami
juga harus memanjat tebing. Bahkan lebih ekstrim. Karena tebing yang
kami panjat nyaris tegak lurus. Satu persatu, kami berhasil naik. Dan
akhirnya, kami benar-benar kehabisan stamina ketika sampai di lahan
pertanian di bagian atas tebing.

Kami kembali beristirahat. Kali ini perlu waktu cukup lama untuk
mengembalikan stamina. Air mineral, sari buah dan makanan ringan pun
segera pindah dari tas ransel ke perut kami. Setelah itu, kami kembali
menyusuri jalan setapak ke arah timur laut. Jalan setapak di yang
sebagian merupakan pematang di antara lahan pertanian.

Jalan setapak itu terputus oleh tatanan batun yang tingginya melebihi
tinggi badan kami. Ternyata, tatanan batuan kapur yang masih terlihat
baru itu adalah jalan baru yang terhubung dengan simpang tiga di mana
kami turun dari mobil untuk berjalan kaki menuju Pantai Dhadapan.
“Kita harus memanjat. Nggak ada jalan lain,” kata Pak Ripto yang
langsung memanjat tatanan batu yang tak kukuh itu.

Dengan sedikit bersusah payah, bahkan harus saling bantu, akhirnya
semua bisa melewati tantangan tersebut. Kemudian, kami mengarahkan
kaki ke arah timur. Kami terus berjalan menyusuri jalan berbatu yang
lebarnya sekitar tiga kilometer itu. Pak Ripto menyebut jalan itu akan
berakhir di Pantai Klothok yang jauhnya masih sekitar 1,5 kilometer
hingga dua kilometer lagi.

Cukup jauh memang. Tapi, rasa lelah tak terlalu menyerang karena
permukaan jalan cenderung rata. Bahkan sedikit menurun sehingga tak
perlu banyak stamina untuk melewatinya. Terlebih lagi, di sisi selatan
tersaji pemandangan yang maha indah. Dari jalan itu, kami bisa melihat
hamparan garis pantai dengan lautnya yang biru disertai hiasan buih
putih gelombang. Itu masih ditambah dengan senda gurau dan gelak tawa
karena tingkah Bintoro yang jenaka. Selalu saja ada yang bisa ia
gunakan untuk memancing tawa di antara kami.

“Kita langsung ke Pantai Klothok dan Sembukan saja. Nanti kembali lagi
ke Gunung Nglojok untuk mengambil foto sunset. Kalau kita sekarang ke
Nglojok, terlalu lama menunggu. Ini baru sekitar jam 16.00. Gunung
Nglojok kan itu,” kata Pak Ripto lantas menunjuk sebuah gunung
tertutup tanaman perdu yang menjorok ke tengah laut di sisi kanan
kami.

Kami terus berjalan. Kadang, saat menemukan spot pemandangan bagus,
kami berhenti untuk merekam gambar. Salah satunya adalah di tikungan
jalan di mana serumpun pandan laut berada di ujung tikungan. Dari
tikungan di atas tebing itu, kami bisa melihat sangat jelas Pantai
Klothok yang berada di sisi sebelah timur.



Dari atas tebing yang juga merupakan sudut tikungan jalan itu, Pantai
Klothok terlihat indah meski tak ada pasir putih di tepinya. Yang ada
justru blok-blok beton pemecah gelombang yang terhampar di antara
batuan karang di pantai. Di bagian lain, terlihat dua bangunan
permanen yang telah rusak.

Bangunan itu dulunya sempat digadang-gadang untuk administrasi
pelabuhan pendaratan ikan dan tempat pelelangan ikan. Ya, Pantai
Klothok memang sempat diproyeksikan sebagai pelabuhan pendaratan ikan
nelayan. Bangunan permanen, pelataran berpaving, beton pelabuhan dan
beton pemecah gelombang, serta alur perahu sudah dibuat di pantai itu.

Tapi, ada salah perhitungan. Arus laut terlalu liar sehingga pantai
itu tak memungkinkan untuk dipakai sebagai pelabuhan. Jangan untuk
kapal besar, untuk sampan kecil pun terlalu berbahaya karena arus
begitu kencang. Imbasnya, bangunan-bangunan yang dananya miliaran
rupiah itu kini mangkrak sisa-sia.

Kami kemudian meneruskan perjalanan. Ada jalan beraspal mulus dan landai yang menghubungkan Pantai Klothok dan Pantai Sembukan. Tapi, kami memilih tak melewati jalan itu. Bukan
karena kami masih punya banyak tenaga. Tapi, karena kami memang ingin
secara optimal mengabadikan setiap titik menarik di sepanjang pantai.
Nah, jika melewati jalan beraspal itu, otomatis kami akan kehilangan
satu spot istimewa.

di Paseban Pathuk Ngasem


Yakni Paseban Pathuk Ngasem yang berada di puncak tertinggi di antara
gunung kapur di antara Pantai Klothok dan Pantai Sembukan. Selain akan
merasakan aura mistis karena Paseban Pathuk Ngasem itu diyakini
merupakan titik berkekuatan supra natural terkuat di kasawan Pantai
Sembukan, kami yakin pemandangan dari puncak itu akan luar biasa.
Pasti sebanding dengan perjuangan kami untuk mendakinya dari Pantai
Klothok.

Sebenarnya, tak ada yang layak disebut jalan antara Pantai Klothok dan
Paseban Pathuk Ngasem. Yang ada hanyalah lereng curam berbatu di sisi
timur pantai. Pak Ripto yang menjadi pemandu kami berupaya memilihkan
celah di antara bantuan kapur sebagai pijakan kaki menuju ke puncak
Pathuk Ngasem.

Kami terus mendaki. Melawan lelah dan hempasan kencang angin pantai.
Beberapa kali kami harus berhenti mendaki. Karena betis dan paha tak
kuat menopang tubuh lagi. Entah berapa kali kami berhenti untuk
mengumpulkan tenaga agar kuat mendaki lagi. Entah berapa kali pula
kami harus merangkak layaknya cicak untuk sampai ke atas lereng.

Tak terhitung sudah berapa lembar kertas tisu yang kami habiskan untuk
menyeka keringat di wajah dan leher. Bahkan, pakaian di badan kami
juga sudah basah oleh keringat. Untungnya, kami membawa bekal air
minum yang cukup hingga kami tak sampai dehidrasi.

Kami memerlukan waktu cukup lama untuk sampai di bagian cekungan di
antara dua bukit kapur. Ternyata, ada jalan setapak berlapis beton di
tengah cekungan itu. Jalan itu merupakan jalan yang dibangun
pemerintah untuk menghubungkan Pantai Sembukan, Puncak Gunung Putri
dan Paseban Pathuk Ngasem.

Kami kemudian meneruskan perjalanan ke Paseban Pathuk Ngasem melalui
jalan kecil berlapis beton itu. Tetap saja mendaki tinggi hingga harus
berhenti beberapa kali agar kaki kembali kuat untuk berdiri. Lelah
teramat sangat dalam proses pendakian itu akhirnya terbayar. Kami tiba
di sebuah bangunan persegi panjang tanpa atap dengan satu tiang
bendera dari bambu di sudut tenggaranya.

“Ring tinju”, demikian warga menyebut bangunan di puncak Pathuk Ngasem
itu. Tak terlalu salah jika disebut seperti itu. Karena memang
sepintas seperti ring tinju. Sebab, pelataran berlapis keramik merah
hati itu dikelilingi pagar beton tak terlalu tinggi yang menyerupai
ring tinju. Kami sempat mengucap salam sebelum memasuki “ring tinju”
itu.

Kami melakukan itu bukan karena kami musrik. Kami melakukannya untuk
menghormati kearifan lokal yang sudah ratusan tahun diyakini warga.
Yakni keyakinan bahwa Pathuk Ngasem adalah satu di antara tiga puncak
bertuah di kawasan Pantai Sembukan. Terlebih lagi, Pak Ripto pemandu
kami juga menyarankan hal sama. Yakni mengucap salam pada yang tak
kelihatan.

Keyakinan bahwa apa yang akan kami dapat di puncak Pathuk Ngasem bakal
sebanding dengan perjuangan untuk mencapainya terbukti benar. Dari
puncak itu, kami bisa melihat betapa indah pemandangan alam yang
diberikan Tuhan di Paranggupito. Kami juga semakin sadar betapa
manusia hanyalah seperti sebutir debu di antara kemegahan anugerah
Yang Maha Kuasa.

Dari Paseban Pathuk Ngasem, kami melihat banyak sekali keindahan. Di
utara, kami melihat hamparan ratusan bahkan ribuan puncak gunung kapur
yang nyaris sama tinggi. Di  barat, kami melihat garis pantai yang tak
henti dihantam gelombang. Di timur, kami melihat beragam keindahan
yang lebih lengkap.

Di antaranya adalah Puncak Gunung Buthak, petilasan Raden Mas
Said/Mangkunegara I yang kini dijadikan sebuah padhepokan. Kami juga
melihat Pantai Sembukan yang begitu kecil dengan hamparan pasir putih
serta gelombang laut yang tak henti berdebur. Kami juga melihat gapura
menuju ke Pantai Sembukan dan tentunya masjid di puncak Gunung Putri.

Jauh ke timur, kami juga melihat tebing garis pantai yang terus
dihantam gelombang hingga menciptakan buih putih. Sedangkan di sisi
selatan, terlihat luasnya Samudera Indonesia. Jauh di tengah lautan,
samar-samar terlihat sebuah kapal melintas. Tak terlihat jelas apakah
kapal yang berlayar ke arah barat itu merupakan kapal nelayan, kapal
barang atau tangker .

Cukup lama kami berada di Paseban Pathuk Ngasem untuk menjalankan
kewajiban pekerjaan sekaligus menikmati keindahan alam yang tersaji.
Kemudian, Pak Ripto mengajak kami turun karena sore sudah menjelang.
Kami langsung menuju ke Pantai Sembukan melalui jalan kecil berlapis
beton itu.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di Sembukan. Sementara kami
beristirahat, Pak Ripto dan Arif kembali ke Gunung Nglojok menggunakan
sepeda motor untuk merekam suasan senja di garis pantai. Tak lama
berikutnya, Danang datang menjemput. Kami kemudian kembali ke Kantor
Kecamatan Paranggupito untuk membersihkan diri. Setelah itu, kami
menuju rumah Pak Ripto untuk makan malam dan beristirahat.

Saat kami tiba, Pak Ripto dan Arif juga sudah tiba. Saat itu,
fotographer Radar Solo tersebut langsung memamerkan keindahan senja
yang ia abadikan dari puncak Gunung Nglojok. Dia terus pamer pesona
hingga kami dipanggil untuk menikmati makan malam dengan menu khas
Paranggupito. Yakni >jangan gerus< (sayur santan dengan cabai digerus)
nan pedas, ikan tuna goreng, gudhangan, thiwul dan oseng karangan
(rumput laut).

Selain sebagai tempat transit, rumah Pak Ripto sebenarnya juga
disiapkan sebagai tempat kami menginap. Tapi, saya dan teman-teman
mempunyai keinginan lain. Yakni ingin menginap di Pendapa Pantai
Sembukan. Kami ingin merasakan aura mistis di tempat yang setiap tahun
dijadikan lokasi Labuhan Ageng itu.

Kami tak mau menghabiskan malam pertama kami di Paranggupito dengan
hanya beristirahat. Dingin dan penat tak membuat kami berhenti. Kami
memilih mengoptimalkan pemanfaatan waktu dengan tetap bekerja
sekaligus berpetualang.

Setelah menghabiskan teh hangat sisa pelengkap makan malam penuh
nikmat di rumah Pak Ripto, kami memutuskan untuk melanjutkan
pekerjaan. Kami ingin merekam keindahan bulan di atas Pantai Nampu di
Dusun Dringo, Desa Gunturharjo, yang berbatasan dengan Desa Widoro,
Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Sebelum berangkat ke Pantai Nampu, kami sudah sepakat dengan Pak Ripto
untuk kembali lagi ke rumahnya guna mengambil perlengkapan dan menuju
ke Pendapa Pantai Sembukan. Kami minta bantuan untuk dipertemukan
dengan juru kunci dan narasumber yang bisa menceritakan tentang
beragam hal di Paranggupito.

Karena Mas Danang yang menjadi driver kami harus pulang, malam itu
saya sendiri yang mengambil alih kemudi. Saya langsung tancap gas
menembus malam ke arah Gunturharjo yang jaraknya sekitar 15 kilometer
dari Kota Kecamatan Paranggupito. Sebagai orang asing, tentu kami tak
berani >blusukan< sendiri ke Pantai Nampu di malam dingin itu.

Saya kemudian memutuskan untuk “menculik” Kepala Dusun Gunturharjo
Widhi Hartono. Teman lama saya itu saya paksa mengantarkan kami ke
Pantai Nampu. Bersama beberapa warganya dan termasuk Kepala Dusun
Dringo Jumani, Widhi yang setengah kebingungan kemudian mengantarkan
kami ke Pantai Nampu.

Di Nampu, kami mencoba beberapa spot untuk menempatkan kamera guna
mencari gambar bulan di atas hamparan pantai. Tapi, semua gagal.
Mendung menyembunyikan keindahan yang kami buru malam itu. Dengan
sedikit kecewa, kami meninggalkan Pantai Nampu yang malam itu begitu
dingin dan berangin kencang tersebut.

Kami sengaja tak mampir lagi ke rumah Widhi Hartono karena kami sudah
ditunggu di Pantai Sembukan. Tapi, saya berjanji akan menginap di
rumahnya pada malam berikutnya. Setelah mengambil perbekalan dan mobil
lain di rumah Pak Ripto, kami langsung menuju ke Pantai Sembukan.

Ternyata, tak hanya Pak Ripto, juru kunci (Suprihono/Pak Pe’ok) dan
Pak Sucipto saja yang berada di pendapa pantai itu untuk menemi kami.
Tapi, ada belasan warga setempat yang bermurah hati meluangkan
waktunya untuk berbagi dingin bersama kami di Penpada Pantai
Paranggupito. Mereka telah menyiapkan air panas untuk menyeduh kopi.

Lantas, kami menurunkan logistik berupa makanan ringan, mie instan dan
perlengkapan tidur berupa field bed pinjaman dari Badan Penanggulangan
Bencana daerah (BPBD) Wonogiri. Sementara Arif dan Aji sibuk
memanfaatkan waktu untuk mengedit foto hasil buruan sebelumnya, saya,
Bintoro, Sutrisno dan Rima larut dalam obrolan bersama Pak Sucipto,
Pak Ripto, Pak Pe’ok dan warga lainnya.

Ditemani kopi panas dan mie instan, para tetua itu terus berbagi
kisah. Mulai dari keyakinan supranatural di sekitar Pantai Sembukan
hingga mitos-mitos lain di seantero Paranggupito. Berjam-jam mereka
bercerita hingga tak terasa tengah malam sudah jauh terlewati. Bahkan
kemudian, seorang petapa asal Pati yang sudah bertahun-tahun tinggal
di lereng Gunung Buthak dan dikenal warga dengan nama Ki Sabdo Gendeng
ikut turun gunung dan nimbrung dalam obrolan tersebut.

Tak saya ketahui pasti jam berapa Pak Sucipto, Pak Ripto dan warga
pamita. Yang pasti, Pak Pe’ok saya minta tetap menemani kami di
pendapa yang terkenal >wingit< itu. Sebelum pulang, Pak Ripto sempat
meninggalkan perintah yang membuat saya dan teman-teman ciut nyali.
Pesan itu adalah untuk mengubah posisi tidur yang semula membujur
dengan kaki ke arah tebing gunung di mana sebuah pohon ketapang
keramat tumbuh.

“Mohon maaf. Tolong kakinya jangan >nyikili< itu (pohon Ketapang).
Yang nunggu tidak suka. Daripada nanti dipindah dari pendapa ini ke
pantai seperti beberapa kali dialami orang lain kan mending tidak
>nyikili<,” kata Pak Ripto pelan dan sangat serius sebelum ia
meninggalkan pendapa tersebut. Pak Sucipto pun mengamini itu.
bermalam di Pendapa Pantai Sembukan


Tak menunggu diperintah lagi, saya dan Aji yang semula terlentang di
atas >field bed< dengan kaki membujur ke arah pohon Ketapan tersebut
langsung  berbalik arah. Sementara, Rima, Sutris dan Arif memilih
tidak tidur di pendapa itu. Ketiganya memilih tidur di bagian dalam
bangunan di depan pendapa yang berfungsi sebagai kantor, mushala dan
gudang. Sedang Pak Pe’ok menepi \di bagian lain pantai.

Sementara, Bintoro larut dalam obrolan bersama teman barunya yakni Ki
Sabdo Gendeng di warung kosong di dekat pelataran parkir. Sesekali
terdengar tawa mereka. Kadang juga terdengar pelan seperti
membicarakan hal yang serius. Tak saya ketahui secara pasti apa yang
mereka obrolkan. Tapi, perbincangan dua “orang aneh” ini terlihat
begitu >nyambung< hingga pagi menjelang.

Praktis, hanya saya dan Aji saja yang berada di pendapa yang menurut
Pak Sucipto memiliki kekuatan magis terkuat setelah Paseban Pathuk
Ngasem itu. Cerita Pak Sucipto dan pesan Pak Ripto sebelum pulang
mengenai kekuatan dari yang tak terlihat itu terus membayangi benak
saya hingga saya nyaris tak bisa tidur hingga beberapa saat lamanya.

Yang pasti, saya kemudian memang tertidur. Tapi, kemudian terbangun.
Saya merasa ada yang berdiri di samping kiri saja. Bahkan, saat saya
memiringkan badan, saya merasa >dilangkahi<. Bahkan, saya seperti
mendengar langkah kaki di sekitar >field bed<. Saat saya mencoba
membuka mata, ternyata tak ada siapa-siapa di pendapa itu selain saya
dan Aji yang lelap tertidur.

 Tidak hanya sekali saya terbangun karena perasaan aneh itu. Tapi,
berkali-kali-kali hingga saya merasa benar-benar ciut nyali. Akhirnya,
saya memutuskan untuk berdoa dan minta ijin secara sederhana. “Kulo
kesel tenan. Kulo tak tilem nggih. Ampun ngganggu. Nyuwun sewu nek
kulo ngganggu njenengan. Kulo namung nunut leren teng mriki. (Saya
sangat lelah. Saya tak tidur. Jangan diganggu. Mohon maaf kalau saya
mengganggu anda. Saya hanya ingin numpang istirahat di sini,” kata
saya dalam hati. Tak lama kemudian, saya bisa tidur lelap hingga
akhirnya dibangun Bintoro untuk memburu Sunrise di Puncak Gunung
Buthak. (bersambung)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar